Pantau Flash
HOME  ⁄  Geopolitik

Di Tengah Pengepungan dan Kelaparan di Darfur, Kisah Nora dan Zainab Jadi Simbol Harapan dan Kemanusiaan

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Di Tengah Pengepungan dan Kelaparan di Darfur, Kisah Nora dan Zainab Jadi Simbol Harapan dan Kemanusiaan
Foto: (Sumber: Konflik di Sudan meletus pada April 2023, menghancurkan infrastruktur negara itu, menewaskan puluhan ribu warga, memaksa jutaan orang lainnya mengungsi, dan menciptakan krisis kemanusiaan yang parah. (Xinhua))

Pantau - Di tengah krisis berkepanjangan akibat konflik bersenjata yang melanda Sudan sejak April 2023, dua perempuan dari El Fasher, Darfur barat daya, menjadi simbol harapan dan kemanusiaan di tengah kelaparan yang melanda komunitas mereka.

Konflik yang telah menewaskan puluhan ribu orang dan menyebabkan jutaan lainnya mengungsi itu kini semakin parah, khususnya di El Fasher, yang sejak Mei 2024 berada dalam pengepungan oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF).

Di tengah situasi ini, Nora Abdel Rahman, seorang mantan guru berusia 35 tahun, mengubah kehidupannya untuk membantu mereka yang paling terdampak.

Dari Ruang Kelas ke Gerobak Bantuan: “Kelaparan Tidak Akan Mengalahkan Kami”

Dulu Nora adalah guru anak-anak.

Namun, ketika sekolah ditutup karena perang, ia mulai mencatat nama-nama warga yang membutuhkan bantuan di buku catatannya.

" Hari saat sekolah ditutup karena pertempuran yang kian memanas, saya menyaksikan murid-murid saya pergi... Saya mulai mencatat nama-nama. Orang-orang yang memiliki anak yang sakit, yang kehilangan pencari nafkah, para janda, lansia. Itu langkah pertama saya," ungkap Nora.

Kini, buku catatan itu digunakan untuk mencatat kebutuhan warga seperti minyak yang habis, anak-anak yang membutuhkan sepatu, hingga obat untuk ibu yang sakit.

Setiap hari, Nora mendorong gerobak berisi tepung sorgum, gula, lentil, dan minyak untuk dibagikan dari rumah ke rumah di lingkungan kumuh El Fasher.

Bantuan berasal dari inisiatif pribadinya serta dukungan para tetangga yang masih mampu menyumbang.

Ia menyebut usahanya sebagai semacam organisasi amal lokal.

Ketika gerobaknya kosong, Nora kembali ke rumah dan merencanakan distribusi untuk esok hari, meski harus menghadapi berbagai kendala seperti stok tepung yang menipis, situasi keamanan yang tak stabil, serta kelelahan fisik dan mental.

" Impian saya adalah kembali ke ruang kelas saya, melihat murid-murid saya makan sebelum mulai belajar, dan bahwa kata ‘pengepungan’ hanya ada dalam buku-buku sejarah, dibaca di sekolah-sekolah yang aman," ujarnya.

Nora menegaskan, "Kelaparan tidak dapat mengalahkan masyarakat yang tetap bersatu."

Zainab Ishaq: Satu Panci Asidah untuk Puluhan Anak Lapar

Di lingkungan Al-Karanik, kisah serupa datang dari Zainab Ishaq, seorang perempuan yang setiap sore memasak asidah, bubur tradisional Sudan, untuk anak-anak yang tinggal di sekitarnya.

Dengan bahan yang sangat terbatas, Zainab tetap berbagi apa yang dimiliki.

" Namun, bagaimana bisa saya menutup pintu saya saat mendengar anak tetangga menangis?" katanya.

Zainab percaya bahwa kelaparan tidak memecah belah warganya.

Sebaliknya, "Kelaparan menyatukan kami; kelaparan tidak memecah belah kami."

Darurat Kemanusiaan: 40 Persen Anak di Bawah Lima Tahun Alami Malanutrisi Akut

Data dari PBB dan jaringan bantuan lokal menunjukkan kondisi yang semakin mengkhawatirkan.

40 persen anak-anak di bawah usia lima tahun menderita malanutrisi akut, dan 11 persen di antaranya berada dalam kondisi mengancam jiwa.

Sebagian besar dapur umum atau takaya di El Fasher kini telah ditutup akibat kelangkaan bahan makanan.

Dalam kondisi di mana bantuan kemanusiaan formal sulit menjangkau warga, kisah Nora dan Zainab menjadi bukti bahwa solidaritas dan kepedulian lokal adalah kekuatan terakhir yang masih menyala.

Artikel ini menjadi catatan tentang bagaimana kebaikan individu tetap hidup bahkan di tengah reruntuhan perang dan kelaparan.

Penulis :
Ahmad Yusuf
Editor :
Tria Dianti