
Pantau - Pemerintah China mengecam pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi yang menyatakan ingin tetap membangun hubungan konstruktif dengan China di tengah ketegangan terkait isu Taiwan.
Melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, Beijing menuntut agar Jepang segera mencabut pernyataan yang dianggap keliru jika ingin menjaga hubungan strategis yang saling menguntungkan.
"Jika Jepang benar-benar berharap untuk mengembangkan hubungan strategis yang saling menguntungkan dengan Tiongkok dan menjadikan hubungan tersebut konstruktif dan stabil, Jepang perlu segera mencabut pernyataan yang keliru tersebut," tegas Mao Ning.
Pernyataan Jepang Soal Taiwan Dinilai Langgar Komitmen Bilateral
Sanae Takaichi pada Jumat (21/11) menyatakan bahwa Jepang menginginkan hubungan konstruktif dengan China dan bahwa posisi Jepang soal Taiwan "tidak berubah".
"Pada akhir bulan lalu, Presiden Xi dan saya menegaskan arah umum untuk memajukan hubungan strategis dan saling menguntungkan secara komprehensif serta membangun hubungan yang konstruktif dan stabil," ujar Takaichi.
Namun pernyataannya di parlemen pada 7 November 2025 yang menyebut potensi ancaman bagi Jepang jika China menggunakan kekuatan militer terhadap Taiwan telah memicu protes keras dari Beijing.
China menilai pernyataan itu menyiratkan kemungkinan intervensi militer Jepang di Selat Taiwan dan menganggapnya mengancam fondasi politik hubungan bilateral.
"Pernyataan tersebut menyiratkan kemungkinan intervensi bersenjata Jepang di Selat Taiwan, memicu kemarahan dan kecaman dari rakyat China, serta mengikis fondasi politik hubungan China-Jepang. China telah menyatakan penolakannya dengan tegas," ungkap Mao Ning.
China Tuduh Jepang Meninggalkan Prinsip Pasca-Perang
Mao Ning juga menyinggung sejarah pasca-Perang Dunia II, di mana Jepang diwajibkan melucuti senjata dan tidak mengembangkan kekuatan militer.
Namun, menurutnya, Jepang kini terlihat sedang mempersenjatai diri kembali.
"Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Jepang terus melonggarkan pembatasan dan mengupayakan peningkatan militer. Negara ini telah meningkatkan anggaran pertahanan selama 13 tahun berturut-turut, dan mengadopsi undang-undang keamanan baru untuk menghapus larangan pelaksanaan hak bela diri kolektif," ujarnya.
Ia juga menyebut Jepang mengganti Three Principles on Arms Exports dengan kebijakan baru yang melonggarkan ekspor senjata, termasuk senjata mematikan.
Mao menuduh Jepang ingin merevisi prinsip non-nuklirnya demi membuka kemungkinan berbagi senjata nuklir dengan negara lain.
"Meski mengklaim ingin membangun dunia tanpa senjata nuklir, Jepang sebenarnya memperkuat kerja sama dalam pencegahan yang diperluas, dan bahkan berupaya merevisi tiga prinsip non-nuklirnya," lanjut Mao.
Ia menegaskan bahwa rakyat China tidak akan mengizinkan Jepang kembali ke jalur militerisme dan bahwa upaya semacam itu hanya akan berakhir dengan kegagalan.
Penutupan Ekspor dan Seruan Pembatalan Perjalanan ke Jepang
Sebagai langkah lanjutan dari ketegangan ini, China kembali menutup impor hasil laut dari Jepang, hanya dua minggu setelah dibuka kembali pada 5 November 2025.
Penutupan ini menjadi pukulan besar bagi industri makanan laut Jepang, terutama ekspor kerang dan teripang, mengingat China adalah pasar ekspor utama.
Pemerintah China juga mengeluarkan imbauan kepada warganya untuk menghindari perjalanan ke Jepang, termasuk bagi pelajar.
Akibatnya, sekitar 491.000 tiket pesawat menuju Jepang dibatalkan sejak Sabtu (15/11), setara dengan 32 persen dari total pemesanan.
Ketegangan diplomatik ini juga berdampak pada kerja sama regional, dengan ditundanya pertemuan tiga menteri kebudayaan dari China, Jepang, dan Korea Selatan yang dijadwalkan berlangsung pada 23–25 November 2025 di Makau.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf







