
Pantau - Komnas Perempuan mengapresiasi tindakan polisi yang meringkus dan menetapkan empat tersangka dalam kasus Kawin Tangkap alias Kawin Paksa di Sumba Barat Daya, Nusa Tnggara Timur (NTT). Komnas Perempuan menegaskan, aksi kawin paksa ini melanggar UU TPKS.
"Komnas Perempuan mengapresiasi langkah cepat dan responsif kepolisian yg menyelamatkan korban," kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, dikutip Senin (11/9/2023).
"Terkait dengan kawin tangkap yang masih terjadi di NTT, dapat dikategorikan sebagai bentuk pemaksaan perkawinan, perbuatan yang telah dilarang dalam UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)," imbuhnya.
Merujuk pada pasal 10 UU TPKS, Siti menyebut, kawin paksa bisa dibui paling lama sembilan tahun, serta denda Rp200 juta.
Pasal tersebut berbunyi:
(l) Setiap Orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp200.00O.0O0,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Termasuk pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. perkawinan Anak;
b. pemaksaan perkawinan dengan
mengatasnamakan praktik budaya; atau
c. pemaksaan perkawinan Korban dengan pelaku perkosaan.
Siti mengungkapkan, karena Kawin Paksa dinil sebuah budaya dan jadi kebiasaan di suatu daerah, maka Pemerintah Daerah (Pemda) mestinya perlu mengambil peran dengan mensosialisasikan agar jangan ada lagi warganya melakukan hal tersebut.
"Mengingat budaya telah berlangsung lama dan dianggap sebagai 'hal biasa' maka Pemda yang juga oleh UU TPKS diberikan mandat untuk menyelenggarakan pencegahan TPKS harus mensosialisasikan larangan pemaksaan perkawinan dalam segala bentuknya kepada tokoh agama, tokoh adat dan aparat penegak hukum," katanya.
"Sehingga, ke depan, terbangun kesadaran bersama bahwa pemaksaan perkawinan atasnama praktek budaya tidak boleh lagi dilakukan," sambungnya.
- Penulis :
- Khalied Malvino