Pantau Flash
HOME  ⁄  Internasional

Krisis Ekonomi, Sri Lanka Gagal Bayar Utang untuk Pertama Kalinya dalam Sejarah

Oleh St Fatiha Sakinah Ramadhani
SHARE   :

Krisis Ekonomi, Sri Lanka Gagal Bayar Utang untuk Pertama Kalinya dalam Sejarah
Pantau.com - Berjuang melawan krisis keuangan terburuknya dalam lebih dari 70 tahun, Sri Lanka dilaporkan gagal membayar utang negaranya untuk pertama kali dalam sejarahnya.

Melansir dari BBC, Jumat (20/5), hal ini terjadi setelah masa tenggang 30 hari untuk menghasilkan $78m (sekitar Rp1,1 triliun) pembayaran bunga utang yang belum dibayar, berakhir pada hari Rabu (18/5) lalu.

Gubernur bank sentral negara Asia Selatan mengatakan bahwa negara itu sekarang dalam "pre-emptive default", yang berarti pemerintah tidak dapat membayar sebagian atau seluruh utang mereka kepada kreditur.

Kemudian pada hari Kamis (19/5), dua lembaga pemeringkat kredit terbesar di dunia juga mengumumkan bahwa Sri Lanka telah gagal bayar membayar utang mereka.

Hal ini dapat merusak reputasi suatu negara di mata investor, mempersulit peminjaman uang yang dibutuhkannya di pasar internasional, yang kemudian dapat merusak kepercayaan pada mata uang dan ekonominya.

Ditanya pada hari Kamis (19/5) tentang apakah negara itu sekarang dalam keadaan default, Gubernur Bank Sentral, P Nandalal Weerasinghe mengatakan "Posisi kami sangat jelas. Sebelum ada restrukturisasi utang, kami tidak akan mampu membayar utang kami. Jadi itulah yang disebut default pre-emptive."

Sri Lanka sedang berusaha untuk merestrukturisasi utang negara agar lebih mudah untuk dibayar kembali. Utang yang harus dibayar kepada kreditur asing sebesar lebih dari $50 miliar (sekitar Rp732 triliun).

Krisis ekonomi di negara itu dipicu oleh pandemi, kenaikan harga energi, dan pemotongan pajak populis.

Kekurangan kronis mata uang asing dan inflasi yang melonjak telah menyebabkan kekurangan obat-obatan, bahan bakar, dan kebutuhan pokok lainnya yang parah.

Dalam beberapa minggu terakhir, telah terjadi protes besar yang terkadang disertai kekerasan terhadap Presiden Gotabaya Rajapaksa dan keluarganya karena krisis yang semakin parah.

Negara tersebut telah memulai pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) mengenai bailout dan perlu menegosiasikan kembali perjanjian utangnya dengan kreditur.

Kemudian pada hari Kamis (19/5), seorang juru bicara IMF mengatakan bahwa rangkaian pembicaraan saat ini adalah tentang program pinjaman potensial yang diharapkan selesai pada hari Selasa (24/5).

Sebelumnya, Pemerintah Sri Lanka telah mengatakan bahwa mereka membutuhkan sebanyak $4 miliar (sekitar Rp58 triliun) tahun ini.

Weerasinghe juga memperingatkan bahwa tingkat inflasi Sri Lanka yang sudah sangat tinggi dan berpotensi meningkat lebih lanjut.

"Inflasi jelas sekitar 30%. Itu akan naik lebih tinggi, inflasi headline akan naik sekitar 40% dalam beberapa bulan ke depan," katanya.

Dia menjelaskan hal ini setelah Bank Sentral Sri Lanka mempertahankan dua suku bunga utamanya tetap stabil menyusul kenaikan tujuh poin persentase pada pertemuan terakhirnya.

Suku bunga pinjaman utama negara itu tetap di angka 14,5%, sedangkan suku bunga deposito dipertahankan di 13,5%.

Dalam berbagai aspek, ini bukan hal yang mengejutkan. Sirene peringatan akan potensi default sudah meraung beberapa minggu yang lalu.

Kegagalan Sri Lanka membayar utang negaranya adalah diagnosis yang menyedihkan bagi sebuah negara yang menghadapi lebih banyak gejolak ekonomi, bahkan ketika pembicaraan dengan IMF dan negara-negara lain terus berlanjut.

Pekan lalu, kakak laki-laki Presiden Rajapaksa Mahinda mengundurkan diri sebagai perdana menteri setelah pendukung pemerintah bentrok dengan pengunjuk rasa. Sembilan orang tewas dan lebih dari 300 terluka dalam kekerasan tersebut.
Penulis :
St Fatiha Sakinah Ramadhani