
Pantau - Di tengah puing-puing Gaza yang porak-poranda, harapan mulai bersemi. Setelah 15 bulan perang yang meninggalkan jejak duka mendalam, gencatan senjata akhirnya berlaku.
Baca juga: Protes Gencatan Senjata Gaza, Ben-Gvir Angkat Kaki dari Kabinet
Suasana yang tadinya penuh ketakutan berubah menjadi perayaan sederhana di jalan-jalan sempit yang dulu digempur bom. Om Salah, seorang ibu dari Gaza, tidak bisa menyembunyikan rasa syukurnya.
“Anak-anak saya sangat senang. Kami akhirnya bisa kembali ke Kota Gaza, bertemu keluarga dan menghidupkan kembali kebahagiaan yang lama hilang,” katanya dengan senyum tipis yang menyimpan luka mendalam.
Bagi Om Salah, kepulangan bukan sekadar perjalanan, melainkan sebuah langkah menuju pemulihan.
Namun, kegembiraan itu tidak dirasakan semua orang. Mahmoud Anwar Abu-Salem, seorang warga Gaza Utara, hanya bisa menatap reruntuhan yang dulu ia sebut rumah.
“Lima puluh anggota keluarga saya kini harus tinggal di jalanan. Tidak ada tempat untuk berlindung, bahkan tenda pun sulit didirikan di sini,” ujarnya lirih.
Baca juga: Kerikil Tajam Ganggu Akses Bantuan Kemanusiaan usai Gencatan Senjata Gaza
Bagi Anwar, seorang pria dari Rafah, kembali ke kota asalnya yang hancur juga menyisakan kesedihan.
“Rumah kami sudah tidak ada, tapi saya tetap akan mendirikan tenda di tempat saya lahir,” tuturnya penuh tekad.
Baginya, pulang ke tanah kelahiran adalah panggilan jiwa, meskipun itu berarti menghadapi kenyataan pahit. Di balik perayaan ini, ada rasa takut yang tak hilang sepenuhnya.
“Kami merasa lega, tetapi hati kami masih cemas. Gencatan senjata ini terasa rapuh, seperti bisa runtuh kapan saja,” ungkap Nour Saqqa, seorang pengungsi dari Kota Gaza.
Di tengah kelegaan sementara ini, warga Gaza tetap menghadapi tantangan besar. Mereka menyaksikan kehancuran sekolah, rumah ibadah, dan infrastruktur yang membuat hidup sehari-hari terasa mustahil.
Namun, di balik setiap senyum dan air mata, ada keberanian luar biasa untuk bertahan dan harapan bahwa kedamaian sejati akan tiba suatu hari nanti.
Sumber: Aljazeera
- Penulis :
- Khalied Malvino