
Pantau - Di tengah kepedihan yang tak berkesudahan, gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang dijadwalkan mulai berlaku pada Minggu (19/1/2025) ini membawa sedikit harapan bagi warga Palestina yang terperangkap dalam kehancuran.
Baca juga: Sandera Gaza Siap Dibebasin Mulai Akhir Pekan Ini
Namun, meski janji bantuan kemanusiaan mengalir deras, jalan menuju pemulihan tampak penuh rintangan.
Infrastrukturnya hancur, kebutuhan begitu mendalam, dan ketertiban yang rapuh membuat perjuangan ini terasa semakin berat. Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, mengumumkan gencatan senjata ini dengan harapan besar.
“Bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan akan sampai kepada warga sipil Palestina,” ujar Biden.
Namun, meskipun harapan itu ada, Tom Fletcher dari PBB mewanti-wanti, “Kita tak boleh terbawa euforia. Jalan menuju bantuan masih penuh tantangan.”
Baca juga: G7 Sambut Gencatan Senjata Gaza, Desak Israel dan Hamas Bertindak
Di Gaza, yang hampir seluruhnya porak-poranda, para pekerja bantuan merasakan betul betapa besar kebutuhan yang ada. Di tengah reruntuhan dan keputusasaan, mereka terus berjuang, meskipun tak ada lagi tempat yang aman bagi mereka sendiri.
Amande Bazerolle dari Doctors Without Borders (MSF) mengatakan, “Semua sudah hancur. Anak-anak tidur di jalanan. Tidak ada yang bisa diprioritaskan.”
Mohammed Al-Khatib dari Medical Aid for Palestinians juga menceritakan bagaimana mereka, para pekerja bantuan, tetap bergerak meski sudah menjadi pengungsi sendiri.
“Semua orang sudah lelah,” katanya.
Baca juga: Pemerintah Palestina Siap Gercep Bantu Gaza Usai Genosida
Kehilangan tempat tinggal, kehilangan keluarga, dan kehilangan rasa aman menjadi bagian dari kenyataan pahit yang harus mereka terima.
Di tempat perlindungan yang seadanya—di gedung sekolah yang porak-poranda, rumah yang rusak akibat bom, bahkan di pemakaman—ratusan ribu orang hidup dalam kondisi yang jauh dari kata layak.
Mereka tidak memiliki pelindung dari hujan musim dingin yang terus mengguyur. Bahkan plastik penutup pun tak tersedia.
“Meskipun bom berhenti, kita masih harus fokus pada hal-hal dasar seperti membawa ‘tarpaulin dan tali’ untuk menutup lubang-lubang besar di bangunan," jelas Gavin Kelleher dari Dewan Pengungsi Norwegia.
Baca juga: BREAKING NEWS: Netanyahu Umumkan Kesepakatan Pemulangan Sandera Gaza
Di balik semua itu, ada anak-anak yang kehilangan hidupnya karena dinginnya udara Gaza.
WHO mencatat, setidaknya delapan orang meninggal akibat hipotermia, termasuk empat bayi baru lahir, tiga balita, dan seorang dewasa. Setiap angka yang tercatat adalah cerita pilu tentang harapan yang terhenti.
Sementara itu, Mesir sedang berupaya membuka kembali jalur Rafah yang selama ini menjadi pintu masuk utama bagi bantuan kemanusiaan.
Namun, meski rencana besar tentang pengiriman bantuan hingga 600 truk per hari sudah disusun, banyak yang meragukan kelancaran proses ini.
Baca juga: Kata Barghouti soal Gencatan Senjata Israel-Hamas Setop Genosida
Bazerolle dari MSF bahkan menyatakan, “Janji pengiriman ratusan truk per hari itu bahkan tidak realistis.”
Kondisi ini semakin diperburuk dengan maraknya perampokan bantuan, baik oleh kelompok bersenjata maupun warga sipil yang terdesak.
“Israel sudah menargetkan polisi, jadi tidak ada yang bisa melindungi pengiriman bantuan,” kata Bazerolle.
Inilah kenyataan yang harus dihadapi oleh warga Gaza—bantuan yang datang pun masih harus berhadapan dengan ancaman perampokan dan ketidakamanan.
Baca juga: Hamas Bantah Klaim Netanyahu soal Komitmen Gencatan Senjata
Dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini, para pengungsi tetap berharap bisa kembali ke rumah mereka.
Namun, Khatib mengatakan, banyak dari mereka yang akan kembali hanya untuk menemukan lingkungan mereka hancur total.
“Orang-orang tidak lagi bicara tentang membangun rumah mereka. Yang mereka butuhkan hanya makanan dan perlindungan,” tuturnya.
“Kita menutup satu bab penderitaan dan membuka bab baru. Setidaknya ada sedikit harapan bahwa darah tidak akan terus tumpah,” tambahnya.
Harapan itu kecil, tapi di tengah kehancuran, harapan adalah satu-satunya yang masih bisa mereka genggam.
Sumber: AFP
- Penulis :
- Khalied Malvino