
Pantau - Presiden Korea Selatan yang dimakzulkan, Yoon Seok Yeol, menghadapi sidang pemakzulan terakhirnya pada Rabu (13/2/2025), setelah upaya gagal menerapkan darurat militer pada Desember 2024.
Baca juga: Presiden Korsel Tuding Oposisi Ingin Hancurkan Pemerintahannya
Para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Korea Selatan akan mulai berunding untuk menentukan apakah Yoon resmi diberhentikan dari jabatannya.
Sebagai mantan jaksa, Yoon tetap bersikeras membela diri selama berminggu-minggu persidangan di Mahkamah Konstitusi Seoul. Dia menuduh oposisi telah bertindak "jahat" dalam menjatuhkan dirinya setelah mencoba menangguhkan pemerintahan sipil.
Upaya Yoon untuk menerapkan darurat militer hanya berlangsung 6 jam, sebelum parlemen yang dikuasai oposisi menolaknya. Tak lama setelah itu, ia dimakzulkan lantaran berupaya mengambil alih kekuasaan dengan paksa.
Pada Januari 2025, Yoon menjadi presiden Korea Selatan pertama yang ditahan saat masih menjabat, dengan tuduhan pemberontakan. Dia tiba di pengadilan sekitar pukul 09.00 waktu setempat, menurut laporan jurnalis AFP.
Sidang pada hari ini menghadirkan bukti dari mantan Kepala Badan Intelijen Korea Selatan serta salah satu pemimpin Komando Pertahanan Ibu Kota, unit militer yang sempat dikerahkan ke DPR saat Yoon berupaya menerapkan darurat militer.
Meskipun belum dikonfirmasi secara resmi, banyak yang memprediksi ini akan menjadi sidang terakhir sebelum para hakim memutuskan nasib Yoon dalam perundingan tertutup.
Tim jaksa dalam persidangan ini menyatakan "saatnya telah tiba untuk evaluasi konstitusional", seraya menambahkan mereka "akan menunggu hasil sidang pemakzulan dengan rendah hati".
Putusan Hakim Diprediksi Bulat
Proses deliberasi MK Korea Selatan diperkirakan akan berlangsung antara satu hingga dua pekan.
Baca juga: Panglima Militer Korse Percaya Keputusan Darurat Militer Yoon Suk Yeol Sah
Sebagai perbandingan, dua mantan presiden Korea Selatan yang sebelumnya dimakzulkan, Park Geun-hye dan Roh Moo-hyun, harus menunggu masing-masing 11 dan 14 hari untuk mengetahui keputusan final.
Kim Hyun-jung, peneliti dari Korea University Institute of Law, mengatakan kepada AFP, "banyak ahli hukum percaya hakim MK akan memutuskan pemakzulan dengan suara bulat."
Namun, sejumlah analis memperingatkan tarik ulur politik bisa menghambat proses persidangan. Para pendukung konservatif Yoon mendesak agar lebih banyak sidang digelar untuk meninjau kembali kasusnya.
Selain itu, MK Korea Selatan saat ini memiliki satu kursi kosong, dan ada kemungkinan hakim tambahan akan disetujui untuk melengkapi sembilan anggota panel hakim sebelum putusan dijatuhkan.
Jika pemakzulan disahkan, pemilihan presiden baru harus digelar dalam 60 hari untuk memilih pemimpin baru Korea Selatan.
Selama persidangan, perdebatan utama berkisar pada apakah Yoon melanggar konstitusi dengan mendeklarasikan darurat militer, yang menurut hukum Korea Selatan hanya boleh dilakukan dalam kondisi darurat nasional atau perang.
Dalam pernyataan tertulisnya, tim pengacara Yoon menegaskan deklarasi darurat militer merupakan tindakan pemerintahan dan tak dapat menjadi subjek peninjauan yudisial.
Pekan lalu, Yoon menyatakan meskipun ia sempat mempertimbangkan menahan anggota parlemen untuk mencegah mereka membatalkan dekritnya, hal itu tidak menjadi masalah hukum karena tidak benar-benar dilakukan.
Selain sidang pemakzulan ini, Yoon juga menghadapi persidangan pidana atas tuduhan pemberontakan, yang dapat berujung pada hukuman penjara atau bahkan hukuman mati.
Sumber: AFP
- Penulis :
- Khalied Malvino