
Pantau - Presiden Korea Selatan yang terhenti masa jabatannya, Yoon Suk Yeol, menyalahkan oposisi yang dianggapnya "jahat" atas keputusan yang diambilnya untuk memberlakukan darurat militer.
Baca juga: DPR Korsel Gagal Gelar Sidang Presiden Yoon Cs Buntut Darurat Militer
Pada sidang Mahkamah Konstitusi (MK) Korea Selatan, Selasa (11/2/2025), Yoon menyebutkan penolakan oposisi untuk memberikan tepuk tangan atau berjabat tangan dengannya menunjukkan rencana mereka untuk "menghancurkan" pemerintahannya.
Pada 3 Desember 2024, Yoon, yang sebelumnya berprofesi sebagai jaksa, mengumumkan darurat militer, menghentikan pemerintahan sipil dan mengirimkan tentara ke DPR.
Namun, upaya ini hanya berlangsung 6 jam karena DPR Korea Selatan yang dipimpin oposisi menanggapi dengan menentang dan membatalkan keputusan tersebut. Mereka bahkan memakzulkan Yoon akibat kebijakan darurat militernya.
Pada Januari 2025, Yoon ditangkap dengan tuduhan pemberontakan, menjadi presiden Korea Selatan pertama yang ditahan saat menjabat.
Dia kini sering dipindahkan dari penjara menuju sidang di MK Korea Selatan, yang akan memutuskan apakah pemakzulan terhadapnya akan tetap berlaku.
Pada sidang hari ini, yang diprediksi akan menjadi sidang terakhir sebelum keputusan, Yoon mengeluhkan sikap oposisi yang tidak memberikan rasa hormat yang layak kepadanya semasa menjabat.
"Tidak peduli seberapa benci mereka kepada saya, prinsip dasar dialog dan kompromi adalah mendengarkan saya dan memberi tepuk tangan untuk pidato anggaran saya di Parlemen," ujar pria berusia 64 tahun itu di hadapan hakim MK Korea Selatan.
Yoon juga mengklaim oposisi sengaja tak masuk ke ruang utama saat pidato anggarannya, membuatnya terpaksa berbicara di DPR Korea Selatan yang setengah kosong.
Dia menggambarkan hal ini sebagai sebuah tindakan yang "sangat jahat" yang menunjukkan niat oposisi untuk menghancurkan pemerintahannya.
Selain itu, Yoon juga memprotes sikap para anggota oposisi yang menghadiri pidatonya di DPR Korea Selatan, namun menoleh dan menolak berjabat tangan dengannya.
Sebelumnya, saat mengumumkan darurat militer, Yoon menyebut oposisi sebagai "elemen anti-negara" yang bertujuan melakukan pemberontakan, dan menyatakan deklarasi tersebut diperlukan untuk "menjaga tatanan konstitusional."
Sidang kali ini diperkirakan akan menjadi yang terakhir sebelum MK Korea Selatan memutuskan apakah pemakzulan terhadap Yoon akan diterima, yang akan memicu Pilpres dalam waktu 60 hari.
Di luar Gedung MK Korea Selatan, para pendukung Yoon menggelar aksi dengan spanduk bertuliskan "Stop the Steal".
Mereka mengadopsi retorika Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mendukung klaim yang belum terbukti mengenai dugaan manipulasi Pemilu Korea Selatan oleh kekuatan asing yang tidak terlihat.
Sebagian besar dari proses persidangan pemakzulan Yoon berfokus pada apakah dia melanggar konstitusi dengan memberlakukan darurat militer, yang hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat nasional atau perang.
Yoon juga menghadapi proses hukum terkait pemberontakan, dengan kemungkinan hukuman penjara atau hukuman mati.
Sumber: AFP
- Penulis :
- Khalied Malvino
- Editor :
- Muhammad Rodhi