
Pantau - Mesir dan Qatar secara tegas menyatakan penolakan mutlak terhadap segala bentuk pemindahan paksa warga Palestina dari Jalur Gaza.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam pertemuan antara Perdana Menteri Mesir Mostafa Madbouly dan Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman di Kota Alamein Baru, Mesir, pada Kamis, 28 Agustus 2025.
Kedua negara Arab itu menegaskan bahwa pemindahan penduduk Gaza bukanlah solusi dan menolak usulan tersebut dalam bentuk apa pun.
Koordinasi dengan AS dan Upaya Rekonstruksi Gaza
Dalam pertemuan itu, Mesir dan Qatar juga menyoroti pentingnya koordinasi dengan Amerika Serikat untuk segera menghentikan perang di Gaza dan membuka akses bantuan kemanusiaan.
Mesir tengah mendorong rencana rekonstruksi Gaza senilai 53 miliar dolar AS atau sekitar Rp871,5 triliun.
Rencana lima tahun ini diadopsi oleh Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada Maret 2025, bertujuan membangun kembali Gaza tanpa harus memindahkan penduduknya.
Namun, proposal ini telah ditolak oleh Israel dan Amerika Serikat.
Sebelumnya, Israel mengusulkan pemindahan warga Palestina ke negara-negara tetangga sebagai bagian dari rencana Presiden AS Donald Trump, tetapi ditolak oleh Mesir, Yordania, dan pihak regional lainnya.
Gencatan Senjata dan Respons Hamas
Pertemuan para pemimpin Mesir dan Qatar berlangsung bersamaan dengan upaya baru untuk mencapai gencatan senjata di Gaza.
Pada 18 Agustus 2025, kelompok Hamas menerima usulan gencatan senjata yang diajukan oleh mediator regional.
Media Israel melaporkan bahwa proposal tersebut mirip dengan rencana utusan AS Steve Witkoff, yang mencakup pertukaran 10 sandera dan 18 jenazah.
Rencana itu juga meliputi masa gencatan senjata selama 60 hari dan negosiasi lanjutan untuk mengakhiri perang.
Pasukan Israel direncanakan melakukan penempatan ulang di dekat perbatasan untuk mempermudah distribusi bantuan kemanusiaan.
Hamas menyatakan kesediaannya untuk membebaskan semua sandera jika Israel menghentikan perang, menarik pasukan, dan membebaskan tahanan Palestina.
Israel memperkirakan masih ada sekitar 50 sandera yang tersisa di Gaza, 20 di antaranya diyakini masih hidup.
Situasi Kemanusiaan dan Respons Internasional
Organisasi hak asasi manusia melaporkan bahwa lebih dari 10.800 warga Palestina ditahan di penjara-penjara Israel, dengan kondisi penyiksaan, kelaparan, dan minim perawatan medis.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu hingga kini belum merespons proposal gencatan senjata tersebut.
Sebaliknya, Netanyahu justru memerintahkan militer untuk mempercepat rencana pendudukan Kota Gaza, yang mendapat kecaman internasional karena berpotensi menimbulkan bencana bagi warga sipil.
Sejak dimulainya serangan militer Israel ke Gaza pada Oktober 2023, hampir 63.000 warga Palestina telah tewas.
Serangan tersebut juga menyebabkan kerusakan infrastruktur besar-besaran dan memperparah krisis pangan di wilayah itu.
Pada November 2024, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Selain itu, Israel saat ini juga sedang menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait perang di Gaza.
- Penulis :
- Aditya Yohan