Pantau Flash
HOME  ⁄  Internasional

Beberapa Pegiat HAM Soroti Pelanggaran Penindasan Keagamaan di Korsel

Oleh Tatang Adhiwidharta
SHARE   :

Beberapa Pegiat HAM Soroti Pelanggaran Penindasan Keagamaan di Korsel

Pantau.com - Sebanyak 155 kelompok pemuda dengan satu juta anggota dari 62 negara di seluruh dunia mengirim surat bersama kepada Sekretaris umum PBB, António Guterres dan afiliasi-afiliasi PBB, termasuk Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) dan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak-hak Asasi Manusia (OHCHR).

Surat bersama tersebut berisi permohonan untuk menghentikan diskriminasi terhadap Gereja Shincheonji, denominasi Kristen baru yang berkantor pusat di Korea Selatan, dan organisasi yang berafiliasi dengan ECOSOC PBB bernama Heavenly Culture, World Peace, Restoration of Light (HWPL).

Perwakilan surat tersebut, direktur dan pendiri FREE WATCH AFGHANISTAN, Mobeenullah Aimaq, mengatakan dirinya setuju dengan kekhawatiran PBB atas penganiayaan terhadap kelompok-kelompok minoritas yang rentan akan serangan serta pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terus terjadi dengan dalih memerangi virus Korona.

Untuk mengatasi masalah ini, ia mengajukan sebuah surat bersama kepada kaum muda di seluruh dunia untuk menghimbau masyarakat internasional. Ia sangat mendesak agar Pemerintah Korea menghentikan penuntutan terhadap Gereja Shincheonji dan HWPL di Korea Selatan.

Baca juga: Gereja Shincheonji Jadi Kambing Hitam, Cendekiawan Internasional Prihatin

"Menuntut Gereja Shincheonji dan HWPL harus segera dihentikan agar reputasi internasional pemerintah tersebut, yang dikenal sebagai pendukung perdamaian di dunia, akan terselamatkan," tambahnya.

Dalam surat tersebut, mereka melaporkan beberapa tindakan diskriminasi dan penindasan yang tidak adil dari pemerintah Korea dan media terhadap organisasi-organisasi tersebut dengan mengutip kekhawatiran Sekretaris Umum PBB. "Efek-efek ketidakseimbangan pada komunitas-komunitas tertentu, munculnya ujaran kebencian, dan penargetan kelompok-kelompokyang lemah," tulisnya.

Menurut laporan tersebut, telah ada lebih dari 5.500 kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia terhadap anggota-anggota Gereja Shincheonji selama periode pandemi yang sedang berlangsung ini. Di antara kasus-kasus tersebut, termasuk kematian dua anggota wanita dalam keadaan yang mencurigakan. Banyak dari korban-korban ini adalah kaum muda yang kini menghadapi peningkatan diskriminasi di tempat-tempat kerja dan sekolah-sekolah, kekerasan di rumah, dan bahkan terjadi program pemaksaan agama kembali.

Surat tersebut menyoroti bahwa anggota-anggota Gereja Shincheonji juga merupakan korban yang juga tertular virus meskipun mengikuti petunjuk-petunjuk pemerintah yang terkait pandemi.

Baca juga: Gereja Ini Dituding Sesat dan Penyebar COVID-19 di Korsel, Berikut Faktanya

Fatia Maulidiyanti, Koordinator Eksekutif KontraS di Indonesia, jugamengirimkan surat protes kepada pemerintah Korea. “Setiap orang memiliki hak-hak dan salah satunya adalah kebebasan beragama. Hak tersebut berisi kebebasan beragama atau berkeyakinan sesuai pilihannya. Sesungguhnya sebuah agama, yang dianut oleh mayoritas penduduk, tidak boleh  mengakibatkan diskriminasi apa pun terhadap penganut agama lain,” papar Fatia.

Selain itu, investigasi penahanan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Ketua Man Hee Lee yang berusia 89 tahun dari Gereja Shincheonji dan HWPL baru-baru ini ditetapkan. Surat ijin kedua kelompok ini telah dicabut oleh pemerintah Korsel dan mereka telah menjalani penyelidikan pajak yang ketat.

Mereka yang berada di posisi kepemimpinan dalam organisasi itu juga telah ditahan untuk diinterogasi. Dalam kolom Korea Times berjudul "Bisakah sekte yang tidak populer mengharapkan keadilan?". Michael Breen, CEO Insight Communications menyebut, penyelidikan terhadap Gereja Shincheonji saat ini sebagai "mencari-cari kesalahan" dengan mengatakan bahwa Shincheonji adalah target yang aman bagi politisi dan orang-orang lain yang berkomentar di depan umum karena tidak populer.

Dalam surat bersama tersebut, mereka mendesak agar kasus-kasus penindasan hak-hak asasi manusia, sosial dan agama, seperti yang terjadi di Korea Selatan, harus diakhiri untuk membangun "solusi yang lebih efektif dan inklusif untuk keadaan darurat saat ini dan pemulihan untuk esok hari."

Penulis :
Tatang Adhiwidharta