Pantau Flash
HOME  ⁄  Lifestyle

Kisah Pencarian Suara Lirih dan Batuk Dibalik Reruntuhan Masjid Jamiul Jamaah

Oleh Gilang
SHARE   :

Kisah Pencarian Suara Lirih dan Batuk Dibalik Reruntuhan Masjid Jamiul Jamaah

Pantau.com - Gempa yang mengguncan Pulau Lombok dengan kekuatan 7,0 SR pada Minggu 5/8/2018 malam, kini menyisakan reruntuhan serta kesedihan yang mendalam. Banyak cerita dibalik gempa yang telah menewaskan 105 orang ini. Salah satunya cerita dibalik Masjid Jamiul Jamaah.

Kurang lebih seratusan jemaah sedang menuntaskan pengajian dan salat Isya di Masjid yang terletak di Dusun Karang Pangsor, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang. Seketika gempa berkekuatan besar mengguncang dan menggetarkan seluruh bangunan masjid. Masjid yang tampak kokoh itu pun roboh dua lantai sekaligus, rata dengan tanah.

Baca juga: Sedang Menikmati Liburan di Bali, Maia Estianty Panik Saat Gempa

Saat kejadian sebagian besar jemaah sempat melarikan diri untuk menghindar dari robohnya masjid. Tapi tidak bagi belasan jemaah lain. Sekian menit pascagempa, teriakan meminta pertolongan bersahutan, lirih, samar, namun tetap terdengar. 

Dalam gelap lampu yang padam, beberapa saksi mata asal dusun setempat segera mencari sumber suara permintaan tolong. 

Hudri (32), salah satu saksi mata mengatakan, ia bersama beberapa orang lain berhasil menyelamatkan tujuh orang dari dalam runtuhan.

"Tapi satu nyawa, seorang yang kami kenal betul, Pak Ahmad, wafat ketika kami evakuasi ke posko pengungsian,” kata Hudri.

Setelah kejadian gempa besar, tak pernah ada yang tahu berapa jumlah lain yang masih terjebak di dalam runtuhan masjid. Hanya sandal-sandal berdebu yang ditinggalkan pemiliknya menjadi bukti bahwa, malam itu ada banyak jemaah di dalam masjid.

Satu nama yang diingat Hudri, Inak Salmah (60) yang diduga kuat masih tertimbun di dalam masjid. Posisinya ada di sisi depan masjid dekat pintu masuk sebelah kanan. 

Dugaan lainnya, lebih pilu lagi, masih ada sekitar lima korban yang belum diketahui nasibnya. Kemungkinan besar mereka masih tertimbun di dalam puing-puing beton masjid. 

Hidup atau wafat tidak ada yang tahu. Suara batuk di dalam runtuhan saat proses evakuasi pun dikerjakan sejak hari pertama pascagempa. Sampai Selasa 7 Agustus 2018, sore, Tim Emergency Response Aksi Cepat Tanggap (ACT) ikut berjibaku mencari korban di balik runtuhan masjid Jamiul Jamaah. 

Lokasi masjid juga dekat sekali dengan rumah Lalu Muhammad Zohri, juara dunia sprinter 100 meter asal Kecamatan Pemenang. 

Malam nahas itu, salah satu saksi mata, Hudri (32) mengatakan, dari lima korban yang tertimbun di dalam, masih ada satu yang hidup. Diduga kuat itu adalah Inak Salmah.

Fathul Azim, salah satu relawan ACT yang memimpin operasi evakuasi mengatakan, ia masih mendengar suara lirih dan batuk.

"Kami di atas runtuhan memanggil nama, dibalas dengan suara lirih dan batuk. Suara batuk ini membuktikan laporan masyarakat yang masih mendengar ada suara ‘minta tolong’ di dalam runtuhan sejak Senin dan Selasa kemarin,” ujar Azim.

Siang hingga menjelang gelap, proses evakuasi dikebut dengan menggunakan beko. Sumber suara batuk menjadi patokan proses pencarian. Runtuhan beton dua lantai dipinggirkan satu persatu. Azim, membantu pengemudi beko mengawal proses penggalian runtuhan.

"Sangat sulit. Masjid dua lantai ini makin padat ke bawah. Satu-satunya cara, lubang bekas kubah kita gali. kita lakukan pemotongan besi. Kita menembus titik diduga posisi terakhir korban, kemungkinan adalah perempuan berusia sekitar 40-60 tahun,” ujar Azim.

Namun sampai hari gelap, tidak ada tanda-tanda tubuh yang terlihat dalam runtuhan. Proses evakuasi dihentikan sementara untuk dilanjutkan esok pagi.

“Kami sudah berusaha sampai menjelang gelap. Tapi posisi korban terdekat yang masih terdengar suara batuk tetap tidak ditemukan. Kami akan melanjutkan evakuasi penuh Rabu 8 Agustus 2018 pagi hingga sore,” papar Azim.

Baca juga: Jessica Iskandar Alami Kejadian Gempa Saat di Bali, Richard Kyle Panik

Sosok Azim, yang ikut ambil bagian dalam proses evakuasi rupanya juga memendam cerita pilu. Azim adalah anak asli Sengiggi, Lombok. Sehari-hari menetap di Yogyakarta sebagai pelajar juga Komandan Disaster Emergency Response ACT Yogyakarta.

“Rumah saya juga kena gempa. Saya pulang kampung ke Lombok. Tapi rumah juga sudah hancur rata dengan tanah di Senggigi,” pungkasnya. 

Penulis :
Gilang