
Pantau - Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan spesialis paru Prof Tjandra Yoga Aditama, SpP, mengungkapkan penggunaan nitrogen cair dalam produksi makanan memang sudah lama dilakukan sejak tahun 1.800-an. Namun bukan dalam bentuk yang langsung dijual ke konsumen seperti saat ini.
Hal itu disampaikan Tjandra menanggapi ramai kasus keracunan 'ciki ngebul' yang menggunakan nitrogen cair. Akibatnya, lebih dari 20 kasus anak keracunan dan beberapa di antaranya dirawat di rumah sakit.
Tjandra menegaskan bahwa penggunaan nitrogen cair pada makanan yang langsung dikonsumsi jelas tidak aman.
"Jelas memang tidak aman kalau makanan yang diproses dengan nitrogen cair, lalu langsung dikonsumsi begitu selesai dibuat. Seharusnya ada selang waktu dulu yang memungkinkan residu nitrogen cair itu menguap habis dulu, baru kemudian lebih aman dikonsumsi," kata Mantan Direktur WHO Asia Tenggara itu, dalam keterangan tertulis, Kamis (12/1/2023).
"Beberapa jenis makanan beku tertentu juga menggunakan nitrogen cair untuk memprosesnya. Tetapi, memang kemudian diproses sedemikian rupa sehingga nitrogen cairnya sudah menguap seluruhnya dan baru kemudian dijual ke konsumen," lanjutnya.
Prof Tjandra mengatakan jika tubuh langsung terpapar dengan nitrogen cair dapat menyebabkan radang dingin atau frostbite. Selain itu, jika zat ini terhirup atau tertelan secara tidak sengaja (accidental inhalation or ingestion) bisa berbahaya bagi tubuh.
"Itu dapat menyebabkan gangguan saluran dan sistem pernapasan bahkan sampai asfiksia, dan juga perforasi (luka berlubang) pada saluran cerna, yang semuanya terjadi karena paparan yang amat dingin dari nitrogen cair. Kita ketahui bahwa suhunya dapat lebih rendah dari -100 derajat celcius," jelas Prof Tjandra.
Ia pun mendorong adanya status yang jelas terkait kasus keracunan nitrogen cair ini. Ia juga meminta agar pemerintah dan regulator pengawas untuk mengkaji lebih lanjut soal penggunaan zat ini.
"Tentu perlu ada status yang jelas tentang situasi kesehatan masyarakat akibat kejadian yang sekarang ini, sesuai peraturan yang ada dan gradasi masalahnya. Juga akan baik dikaji secara mendalam antara Kementerian Kesehatan, BPOM, dan pihak terkait lainnya, bukan tidak mungkin juga unit pemerintah yang menangani UMKM di lapangan," pungkasnya.
Hal itu disampaikan Tjandra menanggapi ramai kasus keracunan 'ciki ngebul' yang menggunakan nitrogen cair. Akibatnya, lebih dari 20 kasus anak keracunan dan beberapa di antaranya dirawat di rumah sakit.
Tjandra menegaskan bahwa penggunaan nitrogen cair pada makanan yang langsung dikonsumsi jelas tidak aman.
"Jelas memang tidak aman kalau makanan yang diproses dengan nitrogen cair, lalu langsung dikonsumsi begitu selesai dibuat. Seharusnya ada selang waktu dulu yang memungkinkan residu nitrogen cair itu menguap habis dulu, baru kemudian lebih aman dikonsumsi," kata Mantan Direktur WHO Asia Tenggara itu, dalam keterangan tertulis, Kamis (12/1/2023).
"Beberapa jenis makanan beku tertentu juga menggunakan nitrogen cair untuk memprosesnya. Tetapi, memang kemudian diproses sedemikian rupa sehingga nitrogen cairnya sudah menguap seluruhnya dan baru kemudian dijual ke konsumen," lanjutnya.
Prof Tjandra mengatakan jika tubuh langsung terpapar dengan nitrogen cair dapat menyebabkan radang dingin atau frostbite. Selain itu, jika zat ini terhirup atau tertelan secara tidak sengaja (accidental inhalation or ingestion) bisa berbahaya bagi tubuh.
"Itu dapat menyebabkan gangguan saluran dan sistem pernapasan bahkan sampai asfiksia, dan juga perforasi (luka berlubang) pada saluran cerna, yang semuanya terjadi karena paparan yang amat dingin dari nitrogen cair. Kita ketahui bahwa suhunya dapat lebih rendah dari -100 derajat celcius," jelas Prof Tjandra.
Ia pun mendorong adanya status yang jelas terkait kasus keracunan nitrogen cair ini. Ia juga meminta agar pemerintah dan regulator pengawas untuk mengkaji lebih lanjut soal penggunaan zat ini.
"Tentu perlu ada status yang jelas tentang situasi kesehatan masyarakat akibat kejadian yang sekarang ini, sesuai peraturan yang ada dan gradasi masalahnya. Juga akan baik dikaji secara mendalam antara Kementerian Kesehatan, BPOM, dan pihak terkait lainnya, bukan tidak mungkin juga unit pemerintah yang menangani UMKM di lapangan," pungkasnya.
- Penulis :
- Fadly Zikry