Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Peneliti UI: Penanganan Kekerasan Seksual Anak di Daerah Belum Berpihak pada Korban, Rehabilitasi Mendesak Diperkuat

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Peneliti UI: Penanganan Kekerasan Seksual Anak di Daerah Belum Berpihak pada Korban, Rehabilitasi Mendesak Diperkuat
Foto: (Sumber : Ketua Tim Riset Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak Universitas Indonesia (UI) Emir Chairullah Ph.D (tengah belakang) saat melakukan Riset Penanganan Kekerasan Seksual pada Anak di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT). ANTARA/HO-Peneliti UI.)

Pantau - Tim peneliti Universitas Indonesia (UI) menilai penanganan kekerasan seksual terhadap anak di berbagai daerah Indonesia, terutama kawasan 3T, masih belum berpihak pada korban dan minim pendekatan rehabilitatif.

Korban Kerap Dapat Stigma, Bukan Pemulihan

Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), menemukan bahwa korban kekerasan seksual anak sering kali justru mendapat stigma sosial dan tidak mendapatkan pendampingan mental yang layak.

"Seringkali korban malah mendapatkan label yang tidak adil. Sudah jadi korban, mendapatkan stigma pula, dan tidak ada upaya rehabilitasi. Ini mengenaskan", ungkap Emir Chairullah, Ph.D, Ketua Tim Riset Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak UI.

Emir menambahkan bahwa selama ini fokus penanganan lebih banyak ditujukan pada penghukuman pelaku, tanpa mempertimbangkan masa depan dan pemulihan psikologis anak.

"Padahal dalam kasus kekerasan ini, masa depan anak yang menjadi taruhannya", tambahnya.

Penelitian ini merupakan kolaborasi antara Departemen Ilmu Hubungan Internasional dan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI, serta melibatkan Yayasan Kakak Aman Indonesia sebagai mitra lapangan.

Tim peneliti terdiri dari Emir Chairullah, Ph.D; Dr. Annisah; Getar Hati; Nurul Isnaeni, Ph.D; Shinta Tris Irawati, M.Kesos; Nurma Ayu Wigati S. Subroto, M.Kom; Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo; Aisha Putri Safrianty; Hana Maulida, S.Kesos; dan Aviva Lutfiana, M.Psi.

Proyek ini didanai oleh Direktorat Inovasi dan Riset Berdampak Tinggi UI (DIRBT-UI).

Minimnya Rumah Aman dan Praktik Penyelesaian Kekeluargaan

Dr. Annisah, dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial UI, menyoroti bahwa di banyak daerah, terutama di kawasan 3T, belum tersedia rumah aman atau rumah singgah bagi korban kekerasan seksual.

"Sehingga apabila ada kasus, orang tua korban tahu harus ke mana. Di sana ada psikolog, konselor, dan pekerja sosial profesional yang merehabilitasi mental korban", jelas Annisah.

Sayangnya, karena ketiadaan fasilitas dan tekanan sosial, banyak keluarga memilih menyelesaikan kasus kekerasan seksual secara kekeluargaan.

Pelaku sering berasal dari lingkungan terdekat seperti ayah, paman, kakek, guru, bahkan kepala sekolah atau tokoh masyarakat.

"Mereka menganggap dengan membayar denda, persoalan sudah selesai. Namun, yang sering dilupakan, trauma yang dialami korban kalau tidak diatasi bisa terbawa sepanjang hidup", lanjutnya.

Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Ende, Cici Badeoda, menekankan bahwa persoalan ini harus menjadi prioritas pemerintah daerah dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA) yang memadai.

"Kalau tidak diatasi, dampaknya akan kemana-mana, kesehatan fisik juga mental dari korban dan keluarganya. Makanya UPT PPA harus segera untuk dibentuk", tegas Cici.

Ia juga mengapresiasi keterlibatan akademisi dalam mendorong kebijakan yang lebih berpihak pada korban.

"Ini upaya positif dari FISIP UI untuk mengurangi bahaya kekerasan seksual pada anak. Bagaimana mau menghasilkan Generasi Emas di 2045 kalau masa depan anak-anak kita sudah dirusak", tambahnya.

Penulis :
Ahmad Yusuf