
Pantau - Setiap orang pasti pernah melakukan tindakan menyalahkan orang lain atas apa yang sudah terjadi, baik ketika tertimpa masalah atau mendapatkan hasil yang buruk dalam hidup. Beberapa orang juga mungkin memiliki keluarga atau kerabat yang memiliki sifat suka menyalahkan orang lain. Dalam kacamata psikologi, hal itu merupakan respon psikologis seseorang yang sering muncul ketika sedang mendapat masalah atau kesulitan.
Seseorang yang memiliki sifat ini cenderung menolak untuk mengakui kelemahan sendiri dan justru menempatkan tanggung jawab kepada orang lain. Pada kenyataanya perilaku ini dapat memicu permasalahan khususnya permasalahan sosial serta kesehatan mental. Berikut penjelasan lebih dalam mengenai perilaku menyalahkan orang lain.
Baca juga: Wanita Asal China Stres Karena Overwork, Berikut Cara Mencegah Mental Illness
Dilihat dari sudut pandang psikologi, perilaku suka menyalahkan orang lain disebut juga dengan Proyeksi Psikologi. Lebih rinci lagi, Proyeksi psikologi adalah respon dari pengalihan emosi yang tidak diinginkan berasal dari diri sendiri kepada orang lain. Dengan kata lain, suka menyalahkan orang atas semua kesalahan termasuk pada proyeksi psikologi dengan tujuan mengedepankan ego sendiri. Orang yang sedang mengalami proyeksi sering kali melakukan hal yang menyebalkan seperti melemparkan kesalahan kepada orang lain.
Istilah proyeksi psikologi pertama kali dicetuskan oleh seorang psikoanalisis Sigmun Freud, istilah ini dikemukakan ketika ia sedang menangani seorang pasien. Sigmun Freud menemukan sebuah pola yang sama, ketika pasien menganggap orang lain memiliki emosi yang sama menggunakan. Proyeksi perasaan yang terjadi pada seseorang umumnya terjadi secara alamiah, dengan kata lain hal ini merupakan bentuk pertahanan diri sendiri.
Baca juga: Kesehatan Mental Kini jadi Permasalahan Baru Karyawan Selain Sakit Pinggang
Dalam prakteknya proyeksi perasaan sering terjadi di kehidupan nyata, seperti saat seseorang tertangkap selingkuh, pada beberapa kasus, pelaku selingkuh cenderung tidak mengakui kesalahan dan tindakan selingkuhnya dan justru menyalahkan pasangannya dengan mencari-cari alasan yang mendukungnya untuk selingkuh.
Pada kasus lain, misalnya ketika seseorang mendapat masalah ketika menjemput kerabat, ketika ada masalah kepada kendaraanya, orang yang memproyeksikan perasaannya justru menyalahkan orang yang ia jemput daripada fokus kepada masalah utama yang terjadi pada kendaraannya. Hal ini terjadi sebagai alternatif atas emosi seseorang untuk mengatasi masalah yang sulit untuk diungkapkan. Dengan kata lain, perasaan tersebut digunakan sebagai pembenaran dan pertahanan diri.
Sikap suka menyalahkan orang lain berkaitan dengan istilah victim mentality, yaitu keadaan di mana seseorang kerap menganggap dirinya sebagai korban di segala tempat dan situasi. Orang dengan kondisi victim mentality cenderung yakin bahwa segala situasi dan kondisi buruk yang menimpanya akan terus terjadi. Ketika victim mentality sudah melekat pada seseorang, orang tersebut akan selalu menyalahkan keadaan dan orang lain atas segala masalah yang dihadapinya.
Perilaku victim mentality pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:
1. Tumbuh di lingkungan yang kurang sehat
Lingkungan yang penuh konflik, kritik, atau ketidakstabilan emosional dapat membentuk pola pikir korban, di mana individu merasa tertekan dan tidak memiliki kontrol atas hidup mereka.
2. Trauma Experience
Seorang ahli pada bidang traumatis, Judith Herman, beranggapan bahwa trauma yang dialami oleh seseorang dapat memengaruhi persepsi dan cara pandangnya akan segala hal yang dialami. Hal itu membuat seseorang dengan pengalaman traumatis merasa tidak memiliki kontrol pribadi dan selalu berada di peran korban.
3. Kurangnya value atau perasaan tidak layak
Individu merasa bahwa mereka tidak memiliki nilai atau tidak layak untuk mendapatkan kebahagiaan atau keberhasilan, sehingga menganggap diri sebagai korban.
Baca juga: Psikolog Ungkap Mengapa Afirmasi Terbukti Baik untuk Kesehatan Mental
4. Bergantung pada orang lain
Ketergantungan yang tinggi pada orang lain dalam hal keputusan, kebahagiaan, atau dukungan emosional, membuat individu merasa tidak berdaya.
(Laporan: Mai Hendar Santoso)
- Penulis :
- Nur Nasya Dalila