
Pantau - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengecam aksi bejat seorang calon pendeta berinisal SAS di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, yang memperkosa 14 orang anak. KPAI minta agar para korban diberi perlindungan maksimal.
"Saya kira perlindungan korban harus maksimal sampai dengan rehabilitasi. Sampai anak bisa memiliki fungsi sosial menjalankan aktivitas penggunaan hak asasi anak seperti belaar dan seterusnya, tanpa stigma," kata Wakil Ketua KPAI, Rita Pranawati kepada wartawan, Sabtu (17/9/2022).
"Ini menjadi PR kita bersama, karena anak-anak ini butuh pendampingan untuk bersaksi secara hukum. Kemudian, agar mereka tidak trauma," sambungnya.
Ia juga setuju atas langkah polisi yang menjerat SAS dengan pasal berlapis.
"Saya setuju ya hukuman berlapis dden UU ITE Kalau memang ada hubungan, misalnya dia adalah guru tertentu harus ada pemberatan ya," ucap Rita.
Rita menilai perbuatan kejinya tidak dapat menjadi alasan meringankan hukuman.
Diketahui saat ini korban dari SAS sudah bertambah menjadi 14 orang yang terdiri dari usia 13-15 tahun yakni 10 orang anak dengan usia di bawah 17 tahun, sedangkan empat korban lainnya remaja berusia di bawah 19 tahun. Aksi bejat SS sudah dilakukan sejak Maret 2021 hingga Mei 2022.
Namun kasus ini baru terungkap setelah pada 1 September lalu ada beberapa korban yang melaporkan SAS kepada aparat kepolisian setempat.
Menurut hasil pemeriksaan sementara, SAS berulang kali melakukan kekerasan seksual terhadap enam pelajar perempuan di kompleks gereja tempat SAS melaksanakan tugas pelayanan sebagai calon pendeta. Dia juga dilaporkan telah memperdaya dan mengancam korban.
Selain sebagai korban kekerasan seksual, belasan anak itu juga diketahui sebagai korban pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Hal ini karena dalam melaksanakan aksinya tersangka merekam atau membuat video serta memotret para korbannya sebelum bahkan sesudah melaksanakan aksinya tersebut.
Dalam menjalankan aksinya juga tersangka melakukan tipu muslihat dan rangkaian kebohongan terhadap para korban.
“Berdasarkan laporan dari para korban juga, aksi yang dilakukan tersebut dilakukan secara berulang-ulang namun sayangnya para korban tak mengingat pasti berapa kali,” ujar Kasat Reskrim Polres Alor, Iptu Yames Jems Mbau, Senin (12/9/2022).
“Perbuatan persetubuhan yang terlapor lakukan terhadap para korban terjadi lebih dari satu kali dan berulang namun saat ini para korban hanya mengingat sebagian saja,” tambahnya.
"Saya kira perlindungan korban harus maksimal sampai dengan rehabilitasi. Sampai anak bisa memiliki fungsi sosial menjalankan aktivitas penggunaan hak asasi anak seperti belaar dan seterusnya, tanpa stigma," kata Wakil Ketua KPAI, Rita Pranawati kepada wartawan, Sabtu (17/9/2022).
"Ini menjadi PR kita bersama, karena anak-anak ini butuh pendampingan untuk bersaksi secara hukum. Kemudian, agar mereka tidak trauma," sambungnya.
Ia juga setuju atas langkah polisi yang menjerat SAS dengan pasal berlapis.
"Saya setuju ya hukuman berlapis dden UU ITE Kalau memang ada hubungan, misalnya dia adalah guru tertentu harus ada pemberatan ya," ucap Rita.
Rita menilai perbuatan kejinya tidak dapat menjadi alasan meringankan hukuman.
Diketahui saat ini korban dari SAS sudah bertambah menjadi 14 orang yang terdiri dari usia 13-15 tahun yakni 10 orang anak dengan usia di bawah 17 tahun, sedangkan empat korban lainnya remaja berusia di bawah 19 tahun. Aksi bejat SS sudah dilakukan sejak Maret 2021 hingga Mei 2022.
Namun kasus ini baru terungkap setelah pada 1 September lalu ada beberapa korban yang melaporkan SAS kepada aparat kepolisian setempat.
Menurut hasil pemeriksaan sementara, SAS berulang kali melakukan kekerasan seksual terhadap enam pelajar perempuan di kompleks gereja tempat SAS melaksanakan tugas pelayanan sebagai calon pendeta. Dia juga dilaporkan telah memperdaya dan mengancam korban.
Selain sebagai korban kekerasan seksual, belasan anak itu juga diketahui sebagai korban pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Hal ini karena dalam melaksanakan aksinya tersangka merekam atau membuat video serta memotret para korbannya sebelum bahkan sesudah melaksanakan aksinya tersebut.
Dalam menjalankan aksinya juga tersangka melakukan tipu muslihat dan rangkaian kebohongan terhadap para korban.
“Berdasarkan laporan dari para korban juga, aksi yang dilakukan tersebut dilakukan secara berulang-ulang namun sayangnya para korban tak mengingat pasti berapa kali,” ujar Kasat Reskrim Polres Alor, Iptu Yames Jems Mbau, Senin (12/9/2022).
“Perbuatan persetubuhan yang terlapor lakukan terhadap para korban terjadi lebih dari satu kali dan berulang namun saat ini para korban hanya mengingat sebagian saja,” tambahnya.
- Penulis :
- renalyaarifin