Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Mirip Jalur Puncak, Sistem Pemilu 'Buka-Tutup' Tuai Kontroversi

Oleh Aditya Andreas
SHARE   :

Mirip Jalur Puncak, Sistem Pemilu 'Buka-Tutup' Tuai Kontroversi
Pantau - Wacana mengembalikan sistem Pemilu dengan proporsional tertutup mengemuka ke publik. Hal ini berawal dari pernyataan Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari yang membuka kemungkinan tersebut.

Hasyim mengungkapkan, saat ini Mahkamah Konstitusi sedang bersidang terkait pelaksanaan Pemilu 2024 dengan menggunakan sistem proporsional tertutup.

"Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi. Ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup," ungkap Hasyim di Kantor KPU RI, Kamis (29/12/2022).

Untuk itu, ia mengimbau agar bakal calon anggota legislatif untuk tidak melakukan kampanye dini. Pasalnya, dengan sistem proporsional tertutup, maka tidak ada gunanya melakukan sosialisasi kepada publik.

"Karena apa? Namanya enggak muncul lagi di surat suara. Enggak coblos lagi nama-nama, calon yang dicoblos hanya tanda gambar parpol sebagai peserta pemilu,” pungkasnya.

Tanggapan elemen masyarakat


Wacana untuk mengembalikan sistem Pemilu dengan proporsional tertutup menuai kontroversi di publik. Salah satunya dari lembaga Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menilai, penggantian sistem Pemilu yang terburu-buru akan berdampak negatif kepada publik.

Ia berpendapat, sistem proporsional terbuka membuat para pemilih lebih bisa mengontrol calon anggota legislatif (caleg). Selain itu, sistem Pemilu terbuka juga mengurangi peran parpol dalam menyetir caleg.

"Sistem proporsional terbuka memberi ruang lebih dalam membatasi oligarki di partai politik," ujar Titi, Jumat (30/12/2022).

Sementara itu, menurut Titi, sistem proporsional tertutup akan membuka pintu bagi politik transaksional antara caleg dengan partai. Karena itu, Titi mengusulkan agar sistem proporsional terbuka lebih diperkuat.

"Yakni memperkokoh konsistensi penegak demokratisasi, memastikan demokratisasi internal partai berjalan. Kalau sistem tertutup, celah candidacy buying akan lebih mungkin terjadi antara caleg dengan elite partai," lanjutnya.

Secara terpisah, Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menilai, keinginan pemerintah untuk merevisi UU 8 Tahun 2012 tentang Pemilu agar kembali sistem proposional tertutup tidak tepat.

Menurutnya, saat ini skema kaderisasi partai politik masih compang-camping. Ia lebih menyetujui agar sistem proporsional terbuka dipertahankan.

"Sistem proposional terbuka lebih oke. Pertama, membiarkan rakyat yang menentukan siapa yang menjadi wakil mereka di parlemen, bukan partai politik. Kedua, partai politik kita sejauh ini tak berfungsi dengan baik, rekruitmen dan kaderisasinya masih compang camping," papar Adi.

Analis politik The Political Literacy Institute tersebut menambahkan, meski kedua sistem memiliki kekurangan dan kelebihan, namun sistem proposional terbuka akan memberikan kesempatan yang luas bagi rakyat.

"Dalam konteks demokrasi elektoral, rakyat sebagai rajanya, bukan partai politik," tutupnya.
Penulis :
Aditya Andreas