
Pantau - Suatu ketika, Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah melemparkan candaan terkait polisi jujur yang ada di Indonesia.
"Ada tiga polisi jujur di Indonesia, yaitu polisi tidur, patung polisi dan Jenderal Hoegeng," ujar Gus Dur kala itu. Hal ini mencerminkan sosok Hoegeng menjadi teladan karena kejujurannya.
Hoegeng Imam Santoso terlahir pada 14 Oktober 1921 di Pekalongan, Jawa Tengah. Ia mengikuti latihan kemiliteran Nippon (1942) dan Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943).
Setelah itu, ia diangkat menjadi Wakil Kepala Polisi Seksi II Semarang (1944), Kepala Polisi Jomblang (1945), dan Komandan Polisi Tentara Laut Jawa Tengah (1945-1946).
Tahun 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port Gordon, Georgia, Amerika Serikat.
Dari situ, ia menjabat Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952). Lalu menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminil Kantor Polisi Sumatra Utara (1956) di Medan.
Tahun 1959, Hoegeng mengikuti pendidikan Pendidikan Brimob dan menjadi seorang Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara (1960), Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri luran Negara (1965), dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966.
Setelah Hoegeng pindah ke markas Kepolisian Negara, kariernya terus menanjak. Dari situ, ia menjabat sebagai Deputi Operasi Pangak, dan Deputi Men/Pangak Urusan Operasi.
Terakhir, pada 5 Mei 1968, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara (Kapolri), menggantikan Soetjipto Joedodihardjo.
Selama menjadi Kapolri, Hoegeng menolak berbagai fasilitas, tak terkecuali rumah dinas dan pengawalan. Ia pun tak segan menindak siapa pun yang melanggar hukum sekalipun dekat atau dilindungi pejabat.
Hoegeng menunjukkan komitmen antikorupsi dengan menginstruksikan semua Kapolda dan Kepala Keamanan Pelabuhan untuk mendaftarkan kekayaannya.
Pada akhir 1960-an, Hoegeng juga pernah membongkar kasus penyelundupan mobil mewah yang melibatkan Robby Tjahjadi, pengusaha yang dikenal dekat dengan polisi, tentara, hingga petinggi Bea Cukai.
Kasus penyelundupan mobil mewah ini menyebabkan kerugian negara hingga mencapai Rp716 juta. Robby akhirnya diganjar hukuman penjara 10 tahun, meski hanya dijalani 2,5 tahun.
Hoegeng juga turun tangan dalam kasus pemerkosaan Sum Kuning, yang disebut-sebut melibatkan sejumlah anak pejabat negara di tahun 1971.
Sebelum kasus terungkap, Hoegeng justru diberhentikan oleh Soeharto pada 2 Oktober 1971. Bersamaan dengan itu, kasus Sum Kuning diambil alih oleh Kopkamptip hilang dari permukaan.
Usai pensiun, idealismenya tetap terjaga. Ia bahkan menjadi salah satu tokoh yang menandatangani Petisi 50 bersama sejumlah purnawirawan ABRI lainnya seperti Nasution dan Ali Sadikin.
Petisi 50 merupakan kelompok purnawirawan ABRI yang mengkritik keras pemerintahan Orde Baru. Akibatnya, masa tua Hoegeng mengalami pencekalan oleh penguasa kala itu.
Hoegeng wafat di Jakarta pada tanggal 14 Juli 2004 dalam usia 82 tahun dan dimakamkan di Taman Pemakaman Giri Tama, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
"Ada tiga polisi jujur di Indonesia, yaitu polisi tidur, patung polisi dan Jenderal Hoegeng," ujar Gus Dur kala itu. Hal ini mencerminkan sosok Hoegeng menjadi teladan karena kejujurannya.
Biografi Hoegeng
Hoegeng Imam Santoso terlahir pada 14 Oktober 1921 di Pekalongan, Jawa Tengah. Ia mengikuti latihan kemiliteran Nippon (1942) dan Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943).
Setelah itu, ia diangkat menjadi Wakil Kepala Polisi Seksi II Semarang (1944), Kepala Polisi Jomblang (1945), dan Komandan Polisi Tentara Laut Jawa Tengah (1945-1946).
Tahun 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port Gordon, Georgia, Amerika Serikat.
Dari situ, ia menjabat Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952). Lalu menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminil Kantor Polisi Sumatra Utara (1956) di Medan.
Tahun 1959, Hoegeng mengikuti pendidikan Pendidikan Brimob dan menjadi seorang Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara (1960), Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri luran Negara (1965), dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966.
Setelah Hoegeng pindah ke markas Kepolisian Negara, kariernya terus menanjak. Dari situ, ia menjabat sebagai Deputi Operasi Pangak, dan Deputi Men/Pangak Urusan Operasi.
Terakhir, pada 5 Mei 1968, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara (Kapolri), menggantikan Soetjipto Joedodihardjo.
Idealisme dan Kejujuran Sebagai Kapolri
Selama menjadi Kapolri, Hoegeng menolak berbagai fasilitas, tak terkecuali rumah dinas dan pengawalan. Ia pun tak segan menindak siapa pun yang melanggar hukum sekalipun dekat atau dilindungi pejabat.
Hoegeng menunjukkan komitmen antikorupsi dengan menginstruksikan semua Kapolda dan Kepala Keamanan Pelabuhan untuk mendaftarkan kekayaannya.
Pada akhir 1960-an, Hoegeng juga pernah membongkar kasus penyelundupan mobil mewah yang melibatkan Robby Tjahjadi, pengusaha yang dikenal dekat dengan polisi, tentara, hingga petinggi Bea Cukai.
Kasus penyelundupan mobil mewah ini menyebabkan kerugian negara hingga mencapai Rp716 juta. Robby akhirnya diganjar hukuman penjara 10 tahun, meski hanya dijalani 2,5 tahun.
Hoegeng juga turun tangan dalam kasus pemerkosaan Sum Kuning, yang disebut-sebut melibatkan sejumlah anak pejabat negara di tahun 1971.
Sebelum kasus terungkap, Hoegeng justru diberhentikan oleh Soeharto pada 2 Oktober 1971. Bersamaan dengan itu, kasus Sum Kuning diambil alih oleh Kopkamptip hilang dari permukaan.
Usai pensiun, idealismenya tetap terjaga. Ia bahkan menjadi salah satu tokoh yang menandatangani Petisi 50 bersama sejumlah purnawirawan ABRI lainnya seperti Nasution dan Ali Sadikin.
Petisi 50 merupakan kelompok purnawirawan ABRI yang mengkritik keras pemerintahan Orde Baru. Akibatnya, masa tua Hoegeng mengalami pencekalan oleh penguasa kala itu.
Hoegeng wafat di Jakarta pada tanggal 14 Juli 2004 dalam usia 82 tahun dan dimakamkan di Taman Pemakaman Giri Tama, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
- Penulis :
- Aditya Andreas