
Pantau - Bagi orang yang hidup di zaman Orde Baru, nama Harmoko tentu sudah tidak asing lagi bagi publik. Dia merupakan pejabat yang paling sering menghiasi layar kaca di masa itu.
Harmoko merupakan Menteri Penerangan di zaman pemerintahan Soeharto, mulai dari tahun 1983 hingga 1997. Tak ayal, jabatan itu membuatnya paling dikenal publik.
Harmoko terlahir pada 7 Februari 1939 di Nganjuk, Jawa Timur. Ia memulai karirnya sebagai seorang jurnalis dan kartunis di surat kabar Harian Merdeka hingga tahun 1962.
Pada tahun 1970, ia mendirikan surat kabar Poskota yang masih eksis hingga kini. Ia juga menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dari 1973 hingga 1983.
Di tahun 1977, Harmoko terjun ke dunia politik dan terpilih sebagai anggota DPR RI dari Golkar. Berkat kepiawaiannya, ia kemudian ditunjuk menjadi Menteri Penerangan di tahun 1983.
Salah satu terobosannya sebagai Menteri Penerangan, Harmoko mencetuskan gagasan tentang Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pirsawan) sebagai corong informasi dari pemerintah.
Dalam setiap penampilannya di depan publik, Harmoko kerap memulai pidatonya dengan kalimat "Atas/sesuai petunjuk bapak Presiden". Kalimat itu yang kemudian kerap menjadi guyonan di publik.
Selain itu, namanya juga kerap menjadi sasaran olok-olok masyarakat dengan kepanjangan dari 'Hari-hari Omong Kosong'. Meski begitu, karir politiknya justru semakin meroket.
Di tahun 1993, Harmoko berhasil menjadi Ketua Umum DPP Golkar. Semasa kepemimpinannya, ia berhasil meyakinkan Soeharto untuk kembali maju pada Pemilu 1997 sebagai Presiden RI.
Namun, gejolak politik akibat krisis ekonomi dan moneter di Asia Tenggara, membuat masyarakat sudah muak dengan kepemimpinan Soeharto.
Pada bulan Mei 1998, sejumlah mahasiswa melakukan aksi demonstrasi besar-besaran di Gedung DPR/MPR RI untuk menuntut Soeharto mundur dari jabatannya.
Harmoko yang kala itu menjabat sebagai Ketua DPR/MPR RI, akhirnya berbalik untuk mendukung mahasiswa dan meminta pengunduran diri dari Soeharto sebagai Presiden.
"Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan Dewan, baik Ketua maupun Wakil-wakil Ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan,” ucap Harmoko kala itu.
Peristiwa inilah yang membuatnya dicap sebagai pengkhianat oleh para loyalis Soeharto. Pasalnya, setahun sebelumnya, dialah yang mendorong Soeharto kembali menjadi Presiden RI.
Tak ayal, Harmoko dicap sebagai 'Brutus', sosok antagonis yang menikam dari belakang Raja Julius Caesar, sang penguasa Romawi.
Kini, Harmoko sudah berpulang tepat hari ini pada dua tahun lalu akibat terserang virus COVID-19. Namanya tetap akan dikenang sebagai seorang politisi ulung dan jubir pemerintahan yang sukses.
Harmoko merupakan Menteri Penerangan di zaman pemerintahan Soeharto, mulai dari tahun 1983 hingga 1997. Tak ayal, jabatan itu membuatnya paling dikenal publik.
Harmoko terlahir pada 7 Februari 1939 di Nganjuk, Jawa Timur. Ia memulai karirnya sebagai seorang jurnalis dan kartunis di surat kabar Harian Merdeka hingga tahun 1962.
Pada tahun 1970, ia mendirikan surat kabar Poskota yang masih eksis hingga kini. Ia juga menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dari 1973 hingga 1983.
Di tahun 1977, Harmoko terjun ke dunia politik dan terpilih sebagai anggota DPR RI dari Golkar. Berkat kepiawaiannya, ia kemudian ditunjuk menjadi Menteri Penerangan di tahun 1983.
Salah satu terobosannya sebagai Menteri Penerangan, Harmoko mencetuskan gagasan tentang Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pirsawan) sebagai corong informasi dari pemerintah.
Dalam setiap penampilannya di depan publik, Harmoko kerap memulai pidatonya dengan kalimat "Atas/sesuai petunjuk bapak Presiden". Kalimat itu yang kemudian kerap menjadi guyonan di publik.
Selain itu, namanya juga kerap menjadi sasaran olok-olok masyarakat dengan kepanjangan dari 'Hari-hari Omong Kosong'. Meski begitu, karir politiknya justru semakin meroket.
Di tahun 1993, Harmoko berhasil menjadi Ketua Umum DPP Golkar. Semasa kepemimpinannya, ia berhasil meyakinkan Soeharto untuk kembali maju pada Pemilu 1997 sebagai Presiden RI.
Namun, gejolak politik akibat krisis ekonomi dan moneter di Asia Tenggara, membuat masyarakat sudah muak dengan kepemimpinan Soeharto.
Pada bulan Mei 1998, sejumlah mahasiswa melakukan aksi demonstrasi besar-besaran di Gedung DPR/MPR RI untuk menuntut Soeharto mundur dari jabatannya.
Harmoko yang kala itu menjabat sebagai Ketua DPR/MPR RI, akhirnya berbalik untuk mendukung mahasiswa dan meminta pengunduran diri dari Soeharto sebagai Presiden.
"Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan Dewan, baik Ketua maupun Wakil-wakil Ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan,” ucap Harmoko kala itu.
Peristiwa inilah yang membuatnya dicap sebagai pengkhianat oleh para loyalis Soeharto. Pasalnya, setahun sebelumnya, dialah yang mendorong Soeharto kembali menjadi Presiden RI.
Tak ayal, Harmoko dicap sebagai 'Brutus', sosok antagonis yang menikam dari belakang Raja Julius Caesar, sang penguasa Romawi.
Kini, Harmoko sudah berpulang tepat hari ini pada dua tahun lalu akibat terserang virus COVID-19. Namanya tetap akan dikenang sebagai seorang politisi ulung dan jubir pemerintahan yang sukses.
- Penulis :
- Aditya Andreas