
Pantau - Komisioner Komnas Perempuan Dewi Kanti merespon terkait larangan nikah beda agama itu, padahal sudah mendapatkan pengakuan melalui pasal 35 UU No 23 tahun 2006 jo UU Nomor 24 Tahun 2013.
Pasal tersebut menjelaskan tentang, Administrasi Kependudukan, dengan penjelasan pasal yang menyatakan yang dimaksud dengan 'Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan' adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.
"SEMA ini merupakan bentuk pengingkaran dan pengabaian lembaga negara pada pelaksanaan kewajiban konstitusional dan hak hukum warga negara, serta bentuk diskriminasi lembaga negara dalam bidang perkawinan," tegas Dewi, Senin (31/7/2023).
Dewi Kanti menjelaskan, perempuan mengalami stigma lebih dibandingkan laki-laki ketika memilih melakukan pernikahan beda agama.
Pengaduan ke Komnas Perempuan menunjukkan perempuan yang menikah beda agama dianggap melakukan zina, perempuan sebagai anak diusir dari rumahnya, dan rentan mengalami kekerasan dari keluarga, seperti memisahkan paksa perempuan dari pasangannya/suami dan anak-anaknya, kekerasan psikis dan ekonomi.
"Perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan dapat menimbulkan berbagai dampak sosial terhadap anak-anak yang dilahirkan, termasuk kerentanan perempuan menjadi korban KDRT ketika perkawinannya tidak tercatat," tegasnya.
Diketahui sebelumnya, polemik legalisasi pernikahan beda agama akhirnya menemui titik terang. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak legalisasi permohonan uji materi terhadap UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
"Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan, Selasa (31/1/2023).
- Penulis :
- Sofian Faiq