
Pantau - Pengamat hukum dan politik Pieter C. Zulkifli menilai isu dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo kembali diangkat sebagai komoditas politik musiman saat suhu politik nasional meningkat, bukan berdasarkan fakta hukum yang valid.
Dalam pernyataannya yang diterima di Jakarta pada Rabu, Pieter menyatakan bahwa narasi ini terus diangkat seolah menjadi skandal besar, meski Universitas Gadjah Mada (UGM) telah berulang kali menegaskan bahwa Jokowi adalah alumni resmi Fakultas Kehutanan.
Pieter menyebutkan, "Tuduhan ini bukan semata tentang keabsahan sebuah ijazah. Ia mencerminkan krisis yang lebih dalam: kegagalan sebagian elite politik dan segmen masyarakat dalam memaknai demokrasi dan cara beroposisi secara sehat".
Dampak Luas dan Potensi Ancaman terhadap Demokrasi
Pieter mengajak masyarakat untuk berpikir lebih jernih dan mendalam agar demokrasi tidak terkikis oleh erosi nalar dan etika publik.
Ia menekankan bahwa klarifikasi telah diberikan secara lengkap, termasuk oleh wakil rektor UGM yang menjelaskan tahun masuk, tahun lulus, hingga judul skripsi Presiden Jokowi.
Namun demikian, isu ini tetap digulirkan dengan nada insinuatif yang tidak membawa data baru.
Dalam konteks hukum, Pieter mengutip adagium actori incumbit probatio, yang berarti 'siapa yang mendalilkan, dialah yang wajib membuktikan'.
Menurutnya, tuduhan tanpa bukti kuat hanyalah fitnah yang berpotensi merusak integritas institusi pendidikan dan kepercayaan publik.
Ia mengingatkan bahwa narasi semacam ini bisa berdampak luas, termasuk merusak stabilitas politik nasional dan menghambat iklim investasi.
"Ketika narasi-narasi seperti ini terus dikapitalisasi tanpa kendali, dampaknya bukan hanya politik domestik, tapi juga reputasi Indonesia di mata dunia," ujar Pieter.
Ia juga mencatat bahwa isu ini muncul seiring transisi kekuasaan menuju pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, dan seringkali dibungkus dengan semangat keterbukaan namun tanpa bukti faktual.
"Yang justru muncul adalah nada agitasi, provokasi, dan seruan-seruan yang berpotensi menjerumuskan bangsa ke dalam kubangan instabilitas," lanjutnya.
Pieter menyerukan aparat penegak hukum untuk bersikap lebih tegas dan mengajak semua pihak agar tidak terjebak dalam politik yang dianggapnya remeh-temeh.
Ia menutup pernyataannya dengan menyerukan agar demokrasi Indonesia tidak direduksi menjadi ajang fitnah, melainkan "Ia harus menjadi ruang dialektika gagasan dan integritas. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?"
- Penulis :
- Peter Parinding