Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

DPD RI: 18 Nelayan Aceh Ditangkap Otoritas Maritim Thailand, Perlu Pendampingan Hukum dan Edukasi Navigasi

Oleh Balian Godfrey
SHARE   :

DPD RI: 18 Nelayan Aceh Ditangkap Otoritas Maritim Thailand, Perlu Pendampingan Hukum dan Edukasi Navigasi
Foto: 18 nelayan Aceh ditangkap otoritas Thailand, DPD RI desak pendampingan hukum dan perlindungan negara(Sumber: ANTARA/Penina F Mayaut/am.).

Pantau - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh, Sudirman Haji Uma, mengonfirmasi bahwa 18 nelayan asal Aceh Timur ditangkap otoritas maritim Thailand karena dugaan pelanggaran batas wilayah laut dan aktivitas illegal fishing.

Penangkapan tersebut terjadi pada Senin, 19 Mei 2025, dan melibatkan dua kapal: KM Jasa Cahaya Ikhlas yang dinakhodai Umar Johan dengan 12 awak, serta KM New Rever yang dinakhodai Ridwan dengan enam awak.

Saat ini, para nelayan berada di bawah pengawasan otoritas Thailand dan kapal mereka diamankan ke wilayah Phuket.

Proses Hukum Dihormati, Hak Nelayan Harus Dijamin

Haji Uma menyampaikan bahwa ia mendapatkan laporan awal dari anggota DPRK Aceh Timur tentang hilangnya dua kapal nelayan tersebut.

Setelah berkoordinasi dengan Konsulat Republik Indonesia (KRI) di Songkhla, Thailand, pihaknya memperoleh konfirmasi resmi bahwa 18 nelayan Aceh telah ditangkap.

Informasi tersebut disampaikan staf KRI bernama Jesica yang menyebutkan proses verifikasi masih berlangsung, sementara tim KRI telah bergerak ke lokasi untuk memantau kondisi para nelayan dan menyiapkan pendampingan hukum.

Tuduhan sementara terhadap para nelayan adalah memasuki perairan Thailand secara ilegal dan melakukan penangkapan ikan tanpa izin.

Haji Uma meminta KRI Songkhla untuk mengawal seluruh proses hukum secara adil dan memastikan hak-hak para nelayan dipenuhi.

Ia menegaskan bahwa hukum Thailand harus dihormati, namun jika ada pelanggaran prosedur, jalur hukum akan ditempuh melalui Kedutaan Besar RI.

Edukasi Navigasi Mendesak, Negara Harus Hadir

Sebagai langkah awal, Haji Uma telah menginstruksikan tim di Aceh Timur untuk melakukan pendataan lengkap identitas para nelayan, termasuk riwayat pelayaran dan alamat, guna mendukung proses hukum dan pendampingan selanjutnya.

Ia juga menyatakan keprihatinan karena kasus serupa telah berulang, dan menilai bahwa banyak nelayan tradisional Aceh masih kekurangan pemahaman serta peralatan navigasi yang memadai sehingga secara tidak sadar melintasi batas wilayah negara lain.

Untuk itu, ia menekankan pentingnya edukasi, pelatihan, dan bantuan alat navigasi dari pemerintah pusat dan daerah guna melindungi nelayan dari risiko hukum di perairan asing.

“Nelayan adalah kelompok rentan yang perlu dilindungi. Negara harus hadir ketika mereka berada di perairan asing,” tegasnya.

Ia menyatakan komitmennya untuk terus mengawal kasus ini hingga para nelayan mendapatkan kejelasan dan keadilan.

Penulis :
Balian Godfrey