
Pantau - Kejaksaan Agung mengungkap bahwa pemberian fasilitas kredit oleh PT Bank BJB dan PT Bank DKI kepada PT Sri Rejeki Isman (Sritex) Tbk dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan hukum dan perbankan yang berlaku.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, pada Rabu.
Penyelidikan bermula dari ketidakwajaran laporan keuangan PT Sritex Tbk, yang pada 2021 melaporkan kerugian sebesar 1,08 miliar dolar AS atau sekitar Rp15,66 triliun, padahal pada 2020 perusahaan tersebut masih mencatatkan laba sebesar 85,32 juta dolar AS atau Rp1,24 triliun.
"Ini ada keganjilan. Dalam satu tahun mengalami keuntungan yang sangat signifikan. Kemudian, tahun berikutnya juga mengalami kerugian yang sangat signifikan," ujar Qohar.
Penyidik menemukan bahwa total kredit outstanding PT Sritex dan anak perusahaannya mencapai Rp3.588.650.808.028,57 hingga Oktober 2024.
Dari jumlah tersebut, kredit dari PT Bank BJB dan PT Bank DKI mencapai Rp692.987.592.188,00.
Kredit Diberikan Tanpa Analisis dan Langgar Hukum
Menurut Abdul Qohar, tersangka ZM (Zainuddin Mappa) selaku Direktur Utama PT Bank DKI tahun 2020 dan DS (Dicky Syahbandinata), Pimpinan Divisi Korporasi dan Komersial PT Bank BJB tahun 2020, diduga memberikan fasilitas kredit secara melawan hukum.
Kredit diberikan tanpa melalui analisis kelayakan yang memadai, serta tidak memenuhi syarat sebagai kredit modal kerja.
Penilaian lembaga pemeringkat internasional seperti Fitch dan Moody’s memberikan rating BB- kepada PT Sritex Tbk, yang mengindikasikan risiko gagal bayar tinggi.
"Seharusnya kredit diberikan kepada perusahaan yang memiliki peringkat A," ujar Qohar.
Kredit yang disalurkan bertentangan dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) perbankan dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Selain itu, pemberian kredit tersebut juga melanggar prinsip kehati-hatian dalam sektor perbankan.
Dana kredit dari dua bank tersebut tidak digunakan sesuai tujuan, melainkan digunakan oleh tersangka ISL (Iwan Setiawan Lukminto), Direktur Utama PT Sritex Tbk periode 2005–2022, untuk membayar utang dan membeli aset nonproduktif.
Akibat penyimpangan tersebut, kredit dari PT BJB dan PT Bank DKI kini berstatus macet (kolektibilitas 5), dan aset perusahaan tidak bisa dieksekusi karena nilainya lebih rendah dari kerugian negara.
Pengadilan Niaga Semarang telah menyatakan PT Sritex Tbk pailit.
Negara mengalami kerugian sebesar Rp692.987.592.188,00 dari total kredit outstanding sebesar Rp3,58 triliun.
Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
- Penulis :
- Arian Mesa