
Pantau - Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, menekankan pentingnya kehadiran dialektika atau komunikasi dua arah di sekolah sebagai kunci pembentukan karakter dan refleksi diri siswa.
Menurut Rizal, dialektika berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari siswa dan menjadi sarana penting dalam membentuk kemampuan bermimpi, berdialog, dan berpikir kritis.
Ia mengingatkan bahwa jika dialektika absen dari ruang kelas, generasi muda berisiko gagal memanfaatkan bonus demografi karena kehilangan kapasitas refleksi dan komunikasi.
Guru Perlu Berdaulat dan Menjadi Kurikulum Hidup
Untuk menumbuhkan budaya dialektika, pendidikan harus kembali ke akar: membebaskan pikiran dan membuka ruang bagi keberagaman perspektif.
Rizal menekankan bahwa guru harus kembali menjalankan peran sebagai penumbuh karakter siswa, bukan sekadar menjadi penyampai materi pelajaran.
Potensi alami siswa seperti rasa ingin tahu, imajinasi, dan passion harus ditumbuhkan melalui pendekatan personal dari guru.
Ia menyebut bahwa kurikulum terbaik adalah guru itu sendiri, yang mampu merancang evaluasi belajar berdasarkan konteks kelas dan kebutuhan siswa, bukan dari sistem luar yang seragam.
Guru harus diberikan kedaulatan dalam mengajar, tidak hanya secara fisik tetapi juga secara jiwa, sehingga dapat mengajar dengan cara yang sesuai dengan identitas dan nilai mereka.
Pemerintah juga diminta memberi ruang filsafat kepada guru agar mereka bisa berdaulat penuh dalam proses pembelajaran.
Pada 7–9 Mei 2025, sekitar 90 relawan dari Gerakan Turun Sekolah (GTS) berdialog dengan 600 siswa di 11 sekolah jejaring GSM di Kulonprogo, Yogyakarta untuk mendorong budaya berpikir kritis dan reflektif.
Salah satu relawan GTS, Eunike Seka, menekankan pentingnya ruang berdialektika bagi guru yang kini terlalu dibebani tugas administrasi, agar tidak menghakimi siswa saat bertanya.
- Penulis :
- Balian Godfrey