
Pantau - Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menekankan pentingnya memperhatikan aspek akses dan mutu layanan kesehatan dalam implementasi kebijakan Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) sebagai bagian dari upaya mendukung terwujudnya Jaminan Kesehatan Semesta (UHC).
Dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), keterkaitan antara kepesertaan, akses ke layanan, dan pembiayaan menjadi sangat penting untuk dijaga agar tetap seimbang.
KRIS dinilai sebagai langkah strategis untuk meningkatkan mutu layanan rawat inap di rumah sakit.
Masa Transisi Diperpanjang, Kebijakan Dinilai Belum Matang
Beberapa rumah sakit disebut sudah mulai memperbaiki ruang rawat inap agar sesuai dengan standar KRIS.
Namun Edy mengingatkan bahwa masih terdapat sejumlah persoalan yang perlu diselesaikan secara paralel, termasuk kesiapan infrastruktur dan dampaknya terhadap kapasitas rumah sakit.
Wacana penerapan KRIS terus menguat, namun pemerintah menilai pelaksanaannya belum siap sepenuhnya.
Kementerian Kesehatan memutuskan untuk memperpanjang masa transisi kebijakan KRIS hingga 31 Desember 2025.
"Saya mengapresiasi langkah Kemenkes yang memutuskan untuk memperpanjang masa transisi kebijakan KRIS hingga 31 Desember 2025. Ini langkah yang tepat, sekaligus sinyal bahwa kebijakan ini belum matang. Kebijakan publik yang menyangkut jutaan jiwa tidak bisa dibuat terburu-buru".
Pertanyaan Dasar dan Dampak terhadap Layanan Publik
Edy menegaskan bahwa sejumlah pertanyaan mendasar masih belum terjawab, seperti apakah KRIS akan menggantikan sistem tiga kelas rawat inap, atau hanya menyamakan standar pelayanan di tiap kelas.
Ia juga mengingatkan bahwa implementasi KRIS berpotensi menurunkan jumlah tempat tidur karena perubahan konfigurasi ruang rawat inap.
Jika hal ini terjadi, maka akses publik terhadap layanan rawat inap dikhawatirkan akan ikut terdampak.
Masalah Pending Claim dan Kesenjangan Kekuasaan
Selain itu, Edy juga menyoroti persoalan tumpukan pending claim antara BPJS Kesehatan dan rumah sakit yang terjadi setiap tahun.
Beban keuangan akibat klaim yang tertunda terus membebani rumah sakit, yang disebabkan oleh dokumen tidak lengkap, kesalahan coding, dan perbedaan tafsir antara rumah sakit dan verifikator BPJS.
Ia menyarankan agar pemerintah meninjau ulang Pasal 11 huruf D dan E dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan.
Pasal tersebut dinilai memberikan wewenang besar kepada BPJS untuk menentukan validitas klaim dan memutus kontrak kerja sama, sementara rumah sakit tidak memiliki posisi tawar yang seimbang.
- Penulis :
- Balian Godfrey