
Pantau - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menyampaikan empat usulan penting terkait penyelenggaraan ibadah haji dalam Seminar Akbar Haji Tahun 2025 yang digelar di Jeddah, Arab Saudi, Minggu (1/6/2025).
Seminar ini diselenggarakan oleh Kementerian Haji dan Umrah Kerajaan Arab Saudi dengan tema "al-Isthitha'ah fi al-Hajj wa al-Mustajaddat al-Mu'ashirah" atau "Kondisi Berkemampuan dalam Haji dan Problematika Kontemporer".
Gus Yahya menjadi satu-satunya pembicara dari Indonesia dan Asia Tenggara dalam forum internasional tersebut.
Dalam pemaparannya, Gus Yahya menyoroti panjangnya masa tunggu calon jamaah haji Indonesia yang mencapai 20 hingga 40 tahun karena tingginya jumlah pendaftar yang telah melampaui 5,5 juta orang pada tahun 2025.
Ia menjelaskan bahwa kondisi ini merupakan konsekuensi dari sistem kuota haji yang diterapkan sejak 1987, memaksa negara-negara Muslim, termasuk Indonesia, untuk menggunakan sistem daftar tunggu.
Gus Yahya mempertanyakan kembali definisi istitha’ah atau kemampuan berhaji dalam konteks saat ini yang menurutnya tidak cukup hanya mencakup kemampuan finansial.
Ia menekankan bahwa "mampu membayar biaya pendaftaran awal belum tentu tergolong mampu secara syar’i untuk berhaji".
Ia juga mengingatkan bahwa biaya haji yang terus meningkat serta masa tunggu yang panjang bisa membuat calon jamaah menua atau bahkan wafat sebelum sempat berangkat.
Empat Usulan untuk Reformasi Sistem Haji
Berdasarkan situasi tersebut, Gus Yahya menyampaikan empat usulan strategis dalam forum tersebut.
Pertama, pentingnya fatwa dan edukasi istitha’ah dari para ulama.
Menurutnya, umat Islam membutuhkan panduan yang jelas mengenai saat kapan seseorang benar-benar diwajibkan berhaji secara syar’i, merujuk pada pandangan mazhab Syafi’i yang menetapkan kewajiban haji saat seseorang akan benar-benar berangkat, bukan saat mendaftar.
Kedua, sosialisasi kewajiban haji hanya sekali seumur hidup bagi yang memenuhi syarat.
Hal ini penting untuk memberi peluang kepada umat Islam yang belum berhaji agar bisa mendapatkan kesempatan.
Ketiga, evaluasi dan inovasi sistem antrean nasional.
Ia mengajak negara-negara dengan jumlah pendaftar besar seperti Indonesia untuk membuat kebijakan yang lebih adil dan strategi pengelolaan antrean yang efektif, serta "kerja sama lebih erat dengan Pemerintah Arab Saudi dalam pengelolaan kuota".
Keempat, perencanaan layanan haji yang lebih awal dan terbuka.
Ia berharap Pemerintah Arab Saudi dapat mengumumkan desain layanan haji lebih dini dan luas agar calon jamaah dapat mempersiapkan diri dengan matang.
Gus Yahya menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan lebih dari 160 juta pengikut dan jaringan nasional, siap membantu Pemerintah Arab Saudi dalam implementasi desain layanan haji yang lebih baik.
- Penulis :
- Arian Mesa