billboard mobile
Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Difabel Minim Akses Pendidikan Tinggi, MPR Dorong Kampus Inklusif

Oleh Khalied Malvino
SHARE   :

Difabel Minim Akses Pendidikan Tinggi, MPR Dorong Kampus Inklusif
Foto: Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat. (Dok/MPR RI)

Pantau - Rendahnya angka lulusan perguruan tinggi dari kalangan disabilitas menandai belum inklusifnya sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Kesenjangan ini memicu seruan serius dari parlemen.

"Berbagai upaya untuk mendorong keterlibatan aktif setiap warga negara, termasuk penyandang disabilitas, dalam proses pembangunan harus mendapat dukungan semua pihak. Perluasan akses perguruan tinggi bagi penyandang disabilitas adalah salah satu upaya yang harus mendapat perhatian bersama," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya, dikutip Selasa (24/6/2025).

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dari 17,9 juta penyandang disabilitas, hanya 2,8 persen yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi. Angka itu menggambarkan betapa besar hambatan akses yang masih membelit kelompok difabel.

Data dari organisasi buruh internasional ILO per Desember 2024 menunjukkan hampir 90 persen penyandang disabilitas di Indonesia tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan. Minimnya keterlibatan di dunia kerja menjadi dampak langsung dari kesenjangan pendidikan.

"Maka akan terjadi kerusakan otak yang bersifat permanen," kata dia.

Sebagian besar penyandang disabilitas bekerja di sektor informal. Kementerian Ketenagakerjaan menyebut 75 persen dari total 720.748 pekerja disabilitas tidak terserap di sektor formal.

Lestari menyebut sejumlah faktor yang membuat kelompok difabel tertinggal, mulai dari minimnya fasilitas hingga stigma sosial. Ia menyampaikan, infrastruktur kampus harus ramah difabel sebagai langkah awal memperluas akses pendidikan tinggi.

Akses Kampus Bagi Difabel

Menurut Lestari, kemandirian difabel bisa tumbuh jika akses ke pendidikan tinggi dibuka seluas-luasnya. Sebagai anggota Komisi X DPR RI, dia mendesak peningkatan sarana dan prasarana kampus agar mendukung mobilitas mahasiswa difabel.

"Bahwa karena peran strategis tentunya ada beberapa persyaratan-persyaratan penting yang nanti akan disampaikan oleh Komisi I pada saat fit and proper test," ucapnya.

Penting juga untuk menghapus stigma negatif dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di ranah akademik. Rerie, sapaan akrab Lestari, berharap perguruan tinggi dapat menjadi ruang yang aman dan mendukung pertumbuhan mahasiswa difabel.

Lestari mengajak semua pihak untuk tidak sekadar mematuhi regulasi, tapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa akses pendidikan adalah hak yang harus setara. Pendidikan tinggi bukan hanya soal gelar, tapi pintu menuju kemandirian sosial dan ekonomi.

Penulis :
Khalied Malvino