Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

MPR RI Rumuskan Opsi Strategis Hadapi Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah

Oleh Arian Mesa
SHARE   :

MPR RI Rumuskan Opsi Strategis Hadapi Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah
Foto: MPR RI merumuskan sejumlah opsi strategis sebagai respons terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (sumber: MPR RI)

Pantau - Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI merumuskan sejumlah opsi strategis sebagai respons terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXI/2024 yang mewajibkan pemisahan jadwal antara pemilu nasional dan pemilu daerah.

Ketua K3 MPR RI, Taufik Basari, menyatakan bahwa putusan MK tersebut menimbulkan dilema konstitusional yang memerlukan respons kelembagaan secara cermat dari MPR RI sebagai satu-satunya lembaga negara yang berwenang mengubah UUD 1945.

Rapat kelompok K3 MPR RI digelar sebagai tindak lanjut dari penugasan Pimpinan MPR RI setelah putusan MK Nomor 135/PUU-XXI/2024 dibacakan pada 26 Juni 2025.

Dalam putusan tersebut, MK menetapkan bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah harus diselenggarakan secara terpisah dengan rentang waktu minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun antara keduanya.

Pemilu nasional mencakup pemilihan DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden, sedangkan pemilu daerah mencakup pemilihan DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala daerah.

Implementasi putusan ini dinilai bermasalah karena berpotensi melanggar Pasal 22E ayat (1) dan (2) serta Pasal 18 ayat (3) UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa pemilu harus dilaksanakan lima tahun sekali dan anggota DPRD dipilih melalui pemilu.

Di sisi lain, jika putusan MK tidak dilaksanakan, maka akan bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.

"Dua-duanya problematik. Jika dilaksanakan, maka bisa terjadi perpanjangan masa jabatan DPRD yang tak memiliki landasan konstitusional karena tidak dipilih oleh rakyat. Namun jika tidak dilaksanakan, berarti kita melanggar prinsip dasar bahwa putusan MK wajib dijalankan," ungkap Taufik Basari.

Kajian K3 MPR RI dan Usulan Konsultasi Konstitusional

Dalam rapat tersebut, K3 MPR RI membahas dua agenda utama, yaitu penugasan tambahan dari pimpinan MPR RI terkait putusan MK dan evaluasi terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945 mengenai kedudukan serta kewenangan MPR RI.

Anggota K3 MPR RI yang turut memberikan pandangan dalam rapat tersebut antara lain Andi Mattalatta, Dr. Achmad Farhan Hamid, Prof. Dr. Satya Arinanto, dan Martin Hamonangan Hutabarat.

Diskusi selama dua jam menghasilkan kesimpulan untuk mendorong pimpinan MPR RI menggelar rapat konsultasi dengan DPR, Presiden, dan MK guna membahas opsi constitutional engineering sebagai respons terhadap putusan MK.

"MPR adalah satu-satunya lembaga negara yang memiliki kewenangan mengubah Undang-Undang Dasar. Maka, sikap atau rekomendasi MPR atas kondisi dilematis ini harus mempertimbangkan kekuatan konstitusional yang dimilikinya," ia mengungkapkan.

K3 MPR RI juga menyiapkan sejumlah poin untuk menghadapi berbagai skenario, termasuk kemungkinan adanya gugatan ulang, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), dan langkah-langkah alternatif lainnya.

Meskipun MPR memiliki otoritas tinggi dalam sistem ketatanegaraan, rapat menyimpulkan bahwa tanggung jawab utama tetap berada di tangan DPR.

Karena itu, MPR RI diharapkan mengambil posisi strategis dengan membuka ruang diskusi dan memberikan opsi bagi DPR serta lembaga negara lain.

"Nantinya, keputusan akan ditentukan berdasarkan opsi-opsi yang disepakati dalam forum konsultasi," ujar Taufik Basari.

Hasil akhir dari kajian ini akan menjadi masukan resmi MPR RI dalam menghadapi dinamika konstitusional pasca-putusan MK.

Diskusi kajian ini juga diharapkan menghasilkan rumusan pandangan kelembagaan yang komprehensif sebagai dasar pertimbangan strategis MPR RI dalam merespons dinamika ketatanegaraan nasional.

Penulis :
Arian Mesa