
Pantau - Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, Ignatius Haryanto Djoewanto, menyampaikan bahwa pengaturan terhadap platform digital seharusnya dilakukan melalui undang-undang tersendiri yang terpisah dari Undang-Undang Penyiaran.
Pengaturan Digital Perlu Undang-Undang Baru yang Responsif terhadap Teknologi
Pernyataan itu disampaikan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Panitia Kerja (Panja) revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran di Komisi I DPR RI.
"Menurut saya pengaturan soal platform digital membutuhkan undang-undang tersendiri yang berbeda dengan undang-undang penyiaran," ungkap Ignatius.
Ia menekankan bahwa dunia penyiaran dan platform digital berbeda baik dari sisi teknologi maupun pendekatan pengaturannya.
Menurutnya, regulasi platform digital biasanya menyangkut dua hal utama: pengaturan terhadap perusahaan penyedia layanan digital seperti streaming online dan media sosial, serta pengaturan terhadap konten yang diproduksi di dalamnya agar tetap memuat tanggung jawab sosial dan budaya.
Ignatius juga menyoroti pentingnya keterlibatan platform digital dalam mendukung konten lokal melalui kontribusi pendapatan untuk memproduksi konten audio visual yang mencerminkan budaya tempat mereka beroperasi.
"Agar konten-konten dalam platform mereka tidak didominasi oleh konten-konten dari luar semata, tapi juga memberikan ruang untuk identitas budaya di mana mereka hadir di sana," jelasnya.
Ia menegaskan bahwa pengaturan harus dilakukan secara seimbang agar tidak menghambat inovasi.
"Pengaturan terkait dengan masalah konten juga dikembalikan pada perusahaan platform agar mengatur mereka-mereka yang menggunakan platform agar patuh pada etika, regulasi, dan kepantasan yang ada," imbuhnya.
Digital Tidak Tanpa Hukum, Penyiaran Publik dan Komunitas Perlu Diperhatikan
Ignatius juga meluruskan persepsi bahwa media digital adalah ruang tanpa hukum.
"Ini sering dikeluhkan oleh para pelaku industri penyiaran bahwa media penyiaran berjalan dengan penuh aturan, mulai dari undang-undang penyiaran, kode etik jurnalistik, pedoman perilaku penyiaran, dan standar program siaran. Sementara media digital seolah ranah yang tanpa hukum. Sebenarnya bagian ini tidak sepenuhnya benar," jelasnya.
Ia menambahkan bahwa platform digital memiliki community guidelines yang berlaku global serta mekanisme internal untuk menghapus konten yang melanggar.
Selain itu, keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta berbagai peraturan Kementerian Komunikasi dan Informatika juga telah mengatur ekosistem digital secara formal.
Ignatius juga mengingatkan DPR agar tidak melupakan keberadaan lembaga penyiaran publik dan komunitas dalam proses revisi UU Penyiaran.
"Saya kira kita tidak hanya membicarakan terkait lembaga penyiaran swasta atau berlangganan tetapi saya kira juga semua perlu diberikan kesempatan untuk didengarkan juga oleh para anggota dewan," katanya.
Ia menegaskan pentingnya respons kebijakan terhadap tantangan yang dihadapi industri penyiaran akibat disrupsi digital.
"Kita mendengar banyak keluhan dari mereka yang bekerja dalam industri penyiaran ketika iklan makin merosot, sementara iklan digital berkembang dengan pesat. Ada pola konsumsi masyarakat yang berubah, dari penggunaan media analog menjadi media digital," tutup Ignatius.
- Penulis :
- Aditya Yohan
- Editor :
- Aditya Yohan