
Pantau - Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher mengecam keras praktik perdagangan bayi yang berhasil diungkap oleh Polda Jawa Barat, yang menurutnya mencerminkan lemahnya sistem perlindungan terhadap bayi, ibu rentan, dan perempuan dalam tekanan sosial maupun ekonomi.
Dalam pengungkapan kasus tersebut, terkuak bahwa sindikat perdagangan manusia telah menjual sedikitnya 24 bayi, bahkan beberapa di antaranya sejak masih dalam kandungan.
Bayi-bayi tersebut dijual hingga ke luar negeri dengan harga bervariasi antara Rp11 juta hingga Rp16 juta per bayi.
"Negara harus menyelesaikan persoalan ini secara tuntas dan tidak boleh ada pengabaian," ungkap Netty dalam pernyataannya.
Ia menilai bahwa praktik tersebut merupakan puncak gunung es dari berbagai persoalan struktural seperti kemiskinan, kurangnya edukasi kesehatan reproduksi, lemahnya perlindungan sosial bagi ibu hamil di luar nikah, serta celah hukum yang dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Perempuan Hamil Rentan Jadi Target Sindikat
Netty menjelaskan bahwa perempuan hamil berada dalam posisi yang sangat rentan, baik karena tekanan ekonomi, kekerasan seksual, maupun karena ditinggalkan oleh pasangannya.
Di sisi lain, perempuan-perempuan tersebut tidak mendapatkan perlindungan dan tidak memiliki pilihan hidup yang aman.
"Maka mereka sangat mudah untuk dimanipulasi menjadi target empuk jaringan perdagangan manusia," ia mengungkapkan.
Ia mendorong pemerintah untuk segera memperkuat sistem deteksi dini serta pelacakan terhadap praktik adopsi ilegal dan jual-beli bayi.
"Perluas layanan perlindungan sosial dan shelter aman bagi perempuan hamil tanpa dukungan, termasuk remaja putri yang menjadi korban kekerasan seksual," tegasnya.
Selain itu, ia juga menyerukan edukasi mengenai kesehatan reproduksi serta perlindungan hukum kepada perempuan dan keluarga, terutama di daerah miskin dan padat penduduk.
Seruan Kebijakan dan Pendekatan Preventif
Netty juga meminta agar pemerintah melibatkan masyarakat sipil, organisasi masyarakat, serta lembaga keagamaan untuk memberikan pendampingan moral dan psikososial bagi ibu dan anak yang berada dalam kondisi rentan.
"Negara harus hadir, bukan hanya menindak setelah kejahatan terjadi, tapi mencegah sejak awal dengan pendekatan perlindungan dan pemberdayaan," jelasnya.
Ia menegaskan bahwa pihaknya akan terus mendorong sejumlah kebijakan untuk mengatasi masalah ini secara sistemik.
Pertama, melanjutkan advokasi kebijakan perlindungan ibu dan anak.
Kedua, mendorong peningkatan anggaran layanan sosial di daerah-daerah dengan angka kemiskinan tinggi.
Ketiga, mengedukasi dan menggerakkan peran kader-kader di berbagai wilayah agar menjadi mata dan telinga dalam deteksi dini kasus-kasus TPPO.
"Anak bukan komoditas. Ia adalah amanah dan masa depan bangsa. Negara harus menjamin hidup dan martabat setiap bayi Indonesia, sejak dalam kandungan hingga tumbuh dewasa," pungkasnya.
- Penulis :
- Shila Glorya
- Editor :
- Shila Glorya