
Pantau - Anggota Komisi III DPR RI, Maruli Siahaan, menekankan perlunya penguatan sistem pengawasan dan peningkatan sumber daya manusia di daerah wisata strategis seperti Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, guna mengantisipasi berbagai persoalan hukum, keimigrasian, dan hak asasi manusia.
Potensi Monopoli Tenaga Asing Harus Diantisipasi
“Labuan Bajo mencatat hampir 441 ribu perlintasan orang. Tapi kita belum punya data pasti, apakah mereka berstatus wisatawan, pekerja, atau pemilik usaha. Ini harus menjadi perhatian serius karena bisa saja berimplikasi pada persoalan monopoli ekonomi oleh tenaga kerja asing,” ungkap Maruli Siahaan saat Kunjungan Kerja Reses Komisi III DPR RI di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Jumat, 25 Juli 2025.
Ia menilai pengumpulan data perlintasan harus dilakukan secara sistematis dan akurat, dengan dukungan koordinasi antarinstansi, khususnya Biro Kriminal Khusus (Krimsus) dan Pengamanan Objek Vital (Pam Obvit), agar pengawasan terhadap warga negara asing (WNA) berjalan optimal.
Menurut Maruli, sistem pengawasan terpadu sangat penting di daerah wisata yang menjadi simpul mobilitas internasional seperti Labuan Bajo.
Soroti Lapas, Anggaran HAM, dan Usulan Posko Satgas TPPO
Maruli juga mengkritisi lemahnya fasilitas dan dukungan operasional di lembaga pemasyarakatan di NTT, terutama dalam program pembinaan dan keamanan narapidana.
“Jangan sampai pembangunan fasilitas Lapas hanya sebatas rencana. Perlu ada program konkret termasuk pelatihan, pembinaan narapidana narkoba, dan penjagaan keamanan yang lebih sistematis,” ujarnya.
Ia mendorong konsep revitalisasi lapas yang menyesuaikan dengan karakteristik wilayah pariwisata agar keamanan dan ekosistem wisata tetap terjaga.
“Lapas di daerah wisata juga harus dirancang dengan pendekatan khusus. Selain pembinaan, juga menjaga agar ekosistem wisata tetap kondusif dan aman,” katanya.
Maruli turut menyoroti belum terealisasinya anggaran program-program bidang hak asasi manusia (HAM), meskipun data menunjukkan kasus tinggi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di wilayah tersebut.
“Kita perlu pertanyakan kenapa sampai tidak ada realisasi anggaran di bidang HAM. Padahal data menunjukkan bahwa selama delapan bulan di tahun 2023 saja, tercatat 256 korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), dan Komnas HAM sudah menetapkan NTT dalam status darurat TPPO,” jelasnya.
Ia meminta pemerintah pusat untuk menambah kuota aparat di NTT dan mendorong pembentukan posko khusus Satuan Tugas TPPO di wilayah perbatasan.
“NTT bukan hanya gerbang wisata, tetapi juga salah satu pintu masuk persoalan serius yang beririsan dengan hukum, HAM, dan keimigrasian. Kita perlu kerja bersama untuk menjawab tantangan ini, termasuk usulan posko khusus Satgas TPPO yang permanen,” tegas Maruli.
- Penulis :
- Aditya Yohan