
Pantau - Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, mendorong revisi terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan sebagai langkah strategis untuk memperkuat literasi nasional dan memperluas cakupan kebijakan literasi di luar pendidikan formal.
Literasi sebagai Gerbang Pengetahuan dan Tujuan Bernegara
Willy menegaskan bahwa tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa yang termaktub dalam UUD 1945 belum sepenuhnya tercermin dalam kebijakan literasi saat ini.
"Instrumen untuk mencerdaskan bangsa itu adalah pengetahuan, dan gerbang utamanya adalah literasi, membaca. Ini bukan sekedar mengubah UU Sistem Perbukuan. Ini meluruskan tujuan bernegara, mencerdaskan kehidupan bangsa," ujarnya.
Ia menyampaikan bahwa sejak awal periode 2019–2024, dirinya telah mengusulkan revisi undang-undang tersebut untuk menanggapi sejumlah persoalan yang belum terakomodasi secara memadai.
Masalah yang disoroti meliputi mahalnya harga buku, rendahnya minat baca masyarakat, serta merosotnya ekosistem penerbitan di Indonesia.
Willy menyayangkan matinya penerbit-penerbit independen dan tutupnya toko-toko buku yang dahulu menjadi pusat lahirnya gagasan dan pemikiran penting.
Ia mencontohkan kota-kota seperti Padang Panjang dan Yogyakarta yang pernah menjadi episentrum penerbitan karya intelektual dan pemikiran Islam.
"Kita tidak bisa terus diam melihat mereka ini bubar. UU Sistem Perbukuan yang lama tidak cukup dapat memberi penegasan kewajiban negara kepada penerbit-penerbit demikian. Ini menjadi cermin bagaimana negeri ini memuliakan pengetahuan," tegasnya.
Negara Harus Dukung Penulis, Buku Bermutu, dan Literasi Budaya
Menurut Willy, revisi UU Sistem Perbukuan harus mencakup visi besar literasi yang melampaui sekadar buku pelajaran sekolah.
Ia menekankan pentingnya dukungan negara terhadap penulis independen, buku-buku bermutu dari luar negeri, serta karya lokal yang berfungsi sebagai duta budaya Indonesia.
"Literasi ini bukan hanya praktik skolastik. Tidak cukup hanya buku-buku yang jadi buku di lembaga pendidikan yang menjadi perhatian pemerintah. Ada banyak penulis bagus yang akhirnya kalah dengan pembuat diktat sekolah," ujarnya.
"Belum lagi produk penulisan kita yang tidak difasilitasi sebagai diplomat budaya. Hal-hal seperti ini yang harus kita masukan dalam revisi ke depan," tambahnya.
Ia juga menyoroti disrupsi digital yang menuntut negara untuk segera merespons agar minat baca dan budaya literasi masyarakat tidak terus merosot.
Revisi undang-undang ini dinilai sebagai strategi jangka panjang untuk memperkuat literasi nasional dan menciptakan ekosistem pengetahuan yang sehat dan berkelanjutan.
“Kita siapkan perubahan UU Sistem Perbukuan ini dalam spirit memajukan literasi. Perbaikan obligasi negara untuk mencerdaskan bangsa lewat buku, itu satu hal. Ada gerakan literasi yang diinisiasi secara struktural, ini juga hal penting. Ini semua perlu mendapat ruang fasilitasi dan pelindungan oleh negara,” pungkas Willy.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf