billboard mobile
Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Usulan Gerbong Merokok di Kereta Tuai Penolakan Luas, Dianggap Langkah Mundur Kesehatan Publik

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Usulan Gerbong Merokok di Kereta Tuai Penolakan Luas, Dianggap Langkah Mundur Kesehatan Publik
Foto: (Sumber: Ilustrasi - Sejumlah petugas membersihkan bagian dalam kereta api. ANTARA/HO-PT KAI Daop 1 Jakarta/am.)

Pantau - Usulan Anggota Komisi VI DPR RI, Nasim Khan, agar PT Kereta Api Indonesia (KAI) menyediakan gerbong khusus kafe dan merokok menuai gelombang penolakan dari berbagai kalangan, mulai dari pakar kesehatan, aktivis, hingga lembaga swadaya masyarakat.

Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menyebut usulan tersebut sebagai langkah sembrono dan kemunduran serius terhadap kebijakan perlindungan kesehatan masyarakat.

Sejak 2012, seluruh kereta PT KAI telah ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dengan sanksi tegas berupa penurunan penumpang bagi pelanggar, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.

Gerbong Merokok Dinilai Langgar Aturan dan Ancam Keselamatan

Kementerian Perhubungan menegaskan bahwa kebijakan KTR di transportasi umum bertujuan menjaga udara bersih dan melindungi kesehatan seluruh pengguna.

PT KAI Daop 1 Jakarta juga memastikan bahwa semua jenis perjalanan—baik kereta jarak jauh, lokal, maupun komuter—adalah zona bebas asap rokok.

Larangan merokok juga diberlakukan di seluruh stasiun, kecuali di area khusus yang telah disediakan secara terbatas.

Ketua IYCTC, Manik Marganamahendra, mengingatkan bahwa merokok di dalam kendaraan umum bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga keselamatan.

Ia menyinggung tragedi Pesawat Varig 820 pada 1973 yang menewaskan 123 orang akibat puntung rokok yang memicu kebakaran.

"Rokok di transportasi umum itu bom waktu," tegasnya.

Bebani Negara dan Ganggu Penumpang Rentan

Advocacy Officer IYCTC, Daniel Beltsazar Jacob, menilai kehadiran gerbong khusus merokok akan menambah biaya operasional PT KAI, mulai dari pembersihan residu asap, pengelolaan puntung rokok, hingga sterilisasi rutin.

Biaya tambahan tersebut berisiko dibebankan pada penumpang melalui kenaikan tarif atau membebani negara lewat subsidi.

Ia juga menyoroti hasil studi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia pada 2015 oleh Soewarta Kosen yang mencatat kerugian ekonomi akibat rokok mencapai hampir Rp600 triliun, jauh lebih besar dari penerimaan cukai tembakau.

Dengan demikian, Daniel menyebut gerbong merokok bukan menambah pemasukan negara, melainkan justru memperbesar beban fiskal.

Dari sisi kesehatan, ancaman thirdhand smoke—residu nikotin dan bahan kimia berbahaya yang tertinggal di permukaan—juga menjadi sorotan.

Asap rokok diketahui bisa menetap selama berbulan-bulan di kursi dan hingga 19 bulan pada pakaian, sehingga tetap membahayakan anak-anak, ibu hamil, lansia, dan penumpang rentan lainnya meskipun perokok sudah turun.

Kebijakan KTR Dinilai Efektif dan Harus Dipertahankan

Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Prof Tjandra Yoga Aditama, mendukung penuh pelarangan merokok di dalam kereta.

Menurutnya, kebijakan ini berkontribusi pada budaya tidak merokok serta dapat mendorong perokok untuk menahan diri bahkan berhenti merokok.

Ventilasi dalam kereta, kata Tjandra, tidak bisa menjamin asap tidak menyebar dan mengganggu penumpang lain maupun petugas.

Ia menekankan bahwa pembuat kebijakan publik wajib mengutamakan kesehatan masyarakat.

“Kebijakan bebas asap rokok di kereta harus tetap dipertahankan, siapapun pemimpin negara di masa depan,” tegasnya.

Penulis :
Aditya Yohan