Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Kemenperin Soroti Ketidakkonsistenan APSyFI, Impor Tekstil Anggota Naik 239 Persen di Tengah Tuntutan Proteksi

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Kemenperin Soroti Ketidakkonsistenan APSyFI, Impor Tekstil Anggota Naik 239 Persen di Tengah Tuntutan Proteksi
Foto: (Sumber: Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif. ANTARA/HO-Kemenperin.)

Pantau - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyoroti rendahnya kepatuhan administratif dan ketidakkonsistenan strategi industri tekstil nasional yang diusung oleh Asosiasi Produsen Benang Serat dan Filamen Indonesia (APSyFI), terutama dalam hal transparansi pelaporan dan kebijakan impor.

Impor Melonjak, Komitmen Anggota APSyFI Dipertanyakan

Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, menyampaikan bahwa berdasarkan data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), hanya 15 dari total 20 perusahaan anggota APSyFI yang melaporkan aktivitas industrinya.

"Masih ada perusahaan besar anggota APSyFI yang tidak melaporkan kinerjanya sama sekali. Padahal, kewajiban pelaporan ini adalah bentuk akuntabilitas industri kepada negara. Minimnya komitmen administratif justru melemahkan posisi asosiasi yang mengklaim sebagai garda depan tekstil nasional," ujarnya.

Febri juga menyoroti adanya anomali dalam sikap anggota APSyFI.

Di tengah desakan asosiasi kepada pemerintah untuk memperketat impor, data justru menunjukkan bahwa volume impor benang dan kain oleh anggota APSyFI melonjak lebih dari 239 persen—dari 14,07 juta kilogram pada 2024 menjadi 47,88 juta kilogram pada 2025.

"Ada anggota APSyFI yang memanfaatkan fasilitas kawasan berikat maupun API umum, sehingga bebas melakukan impor besar-besaran. Di satu sisi, mereka menuntut proteksi, namun di sisi lain aktif menjadi importir. Ini jelas kontradiktif dengan semangat kemandirian industri," tegasnya.

Proteksi Sudah Ada, Tapi Minim Investasi Baru

Kemenperin mencatat bahwa pemerintah telah memberikan berbagai bentuk perlindungan fiskal bagi industri hulu tekstil, termasuk:

  • Bea Masuk Antidumping (BMAD) polyester staple fiber (PSF) sejak 2010 dan berlaku hingga 2027
  • BMAD spin drawn yarn (SDY) yang berlaku hingga 2025
  • Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) untuk benang serat sintetis hingga 2026
  • BMTP untuk kain hingga 2027

"Artinya, industri anggota APSyFI selama ini sudah menikmati keuntungan ganda, yaitu proteksi tarif sekaligus fasilitas impor. Namun, sayangnya tidak diimbangi dengan investasi baru maupun modernisasi teknologi," kata Febri.

Kemenperin menegaskan bahwa kebijakan perlindungan industri selalu dilakukan dengan prinsip keseimbangan antara sektor hulu, intermediate, dan hilir.

Industri hilir yang berorientasi ekspor, lanjutnya, diberikan kemudahan agar tetap kompetitif secara global, sementara pasar domestik diarahkan untuk substitusi impor sesuai kapasitas industri nasional.

Febri juga mengingatkan bahwa jika usulan BMAD dengan tarif 45 persen seperti yang dihitung Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) diterapkan, maka industri hilir berpotensi mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga 40.000 pekerja.

"Ini akan menjadi tragedi nasional. Sedangkan potensi PHK di sektor hulu yang jauh lebih kecil masih bisa dimitigasi melalui optimalisasi serapan lokal," ujarnya.

Pertumbuhan Tetap Positif, Kolaborasi Jadi Kunci

Meski demikian, sektor tekstil nasional mencatatkan pertumbuhan positif di atas 4 persen pada kuartal I dan II tahun 2025.

Kemenperin menilai hal ini sebagai capaian yang patut dijaga dan ditingkatkan.

"Kemenperin berharap asosiasi industri dapat melihat kebijakan pemerintah secara objektif. Justru di tengah pertumbuhan ini, yang dibutuhkan adalah kolaborasi dan kepatuhan, bukan narasi yang menyesatkan publik," tutup Febri.

Penulis :
Ahmad Yusuf