
Pantau - Wakil Ketua MPR RI sekaligus Anggota Komisi VIII DPR RI, Hidayat Nur Wahid (HNW), menyampaikan selamat atas disahkannya Perubahan Ketiga Undang-Undang Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang mengatur peningkatan status Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) menjadi Kementerian Haji dan Umrah.
Melalui perubahan undang-undang tersebut, Presiden diwajibkan membentuk Kementerian Haji dan Umrah dalam waktu maksimal 30 hari sejak pengesahan.
Diplomasi Kuota Jadi Prioritas, Skema 2:1000 Diusulkan
HNW menyatakan bahwa peningkatan status kelembagaan ini harus dimanfaatkan untuk memperbaiki sistem penyelenggaraan haji agar berbagai masalah yang terjadi pada pelaksanaan haji 2025 — yang terakhir kali diselenggarakan oleh Kementerian Agama — tidak terulang kembali.
Salah satu langkah prioritas adalah memaksimalkan penggunaan kuota haji dan mengintensifkan diplomasi internasional untuk mempersingkat antrean jemaah haji asal Indonesia.
“Untuk mengatasi daftar antrean berkepanjangan itu, mestinya diplomasi haji tidak hanya dikerjakan oleh Amirul Hajj, tetapi bahkan Kementerian Haji mestinya juga berada di garda terdepan melakukan diplomasi haji untuk mengomunikasikan ke pihak OKI maupun Arab Saudi agar kuota haji Indonesia dipenuhi minimal sesuai skema yang disepakati,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa skema saat ini adalah 1:1000, yakni satu kuota untuk setiap seribu penduduk Muslim.
Mengacu pada data Dukcapil per Agustus 2024, umat Islam Indonesia berjumlah 245.973.915 jiwa, sehingga kuota haji ideal seharusnya 245.973 jemaah, bukan hanya 221.000 seperti saat ini.
Hidayat mengusulkan agar skema diperluas menjadi 2:1000, mengingat infrastruktur di Arab Saudi seperti Masjid Al-Haram dan area Mina yang kini lebih siap menampung jumlah jemaah lebih besar.
Sebagai alternatif, ia juga mendorong kerja sama dengan negara-negara yang kuota hajinya tidak terserap habis, seperti Filipina dan Kazakhstan, agar kelebihan kuota dapat dimanfaatkan oleh Indonesia.
“Dengan penguatan kelembagaan dari badan menjadi kementerian, BPH (nantinya Kementerian Haji dan Umrah) harus segera melakukan diplomasi intensif antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Saudi terkait usulan kuota haji tidak lagi 1:1000, tetapi 2:1000. Karena saat ini, secara kelembagaan, BPH sudah akan setara dengan Kementerian Haji di Saudi, sehingga seharusnya memiliki posisi diplomasi yang kuat,” tegasnya.
Pengelolaan Amanah dan Transparansi Jadi Tuntutan
Selain urusan kuota, HNW menekankan pentingnya reformasi tata kelola haji secara menyeluruh agar pelayanan terhadap jemaah semakin amanah, adil, dan bebas dari praktik korupsi.
Ia menyoroti perlunya pembenahan dalam sistem syarikah agar tidak lagi terjadi kasus pemisahan antara pasangan suami istri, pembimbing dengan jemaah, maupun kelompok lainnya selama pelaksanaan haji.
Ia juga mendorong pengawasan ketat terhadap layanan katering, transportasi, serta fasilitas di Arafah, Muzdalifah, dan Mina.
Tak hanya itu, Hidayat mengkritisi proses pembagian kuota haji tambahan yang sebelumnya sempat menjadi sorotan publik dan bahkan ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Maka hendaknya Kementerian Haji dalam membuat peraturan terkait penyelenggaraan haji, khususnya terkait proporsi pembagian kuota tambahan, benar-benar melaksanakan ketentuan undang-undang, antara lain membaginya secara proporsional sebagaimana ketentuan UU, membicarakannya dengan DPR, berlaku jujur, adil, dan transparan dengan melaporkan progresnya kepada publik, agar tidak terjadi lagi kasus korupsi yang menjerat kementerian gara-gara pembagian kuota haji yang tidak sesuai aturan,” pungkasnya.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf