Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

AS Cabut Visa Mahmoud Abbas dan Delegasi Palestina, Picu Kecaman Internasional dan Sorotan atas Kredibilitas PBB

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

AS Cabut Visa Mahmoud Abbas dan Delegasi Palestina, Picu Kecaman Internasional dan Sorotan atas Kredibilitas PBB
Foto: (Sumber: Warga membawa bendera Palestina saat Aksi Bela Palestina di depan Kedubes AS Jakarta, Sabtu (1/6/2024). (ANTARA/Khaerul Izan/aa))

Pantau - Pemerintah Amerika Serikat mencabut visa Presiden Palestina Mahmoud Abbas beserta 80 anggota delegasinya, menjelang kehadiran mereka dalam Majelis Umum PBB 2025 yang dijadwalkan berlangsung di New York pada bulan September.

Kebijakan ini menuai kecaman luas dari komunitas internasional, karena dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional dan etika diplomatik.

Palestina Dituduh Ganggu Perdamaian, AS Dinilai Langgar Perjanjian PBB

Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menyatakan bahwa Palestina telah “merusak prospek perdamaian” karena terus mendorong pengakuan resmi sebagai negara berdaulat.

Rubio juga menuding Otoritas Palestina melanggar sejumlah komitmen, termasuk dengan melakukan “kampanye menggunakan hukum sebagai senjata.”

Pernyataan ini merujuk pada pengajuan dokumen oleh Palestina ke Mahkamah Internasional (ICJ) dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk meminta pertanggungjawaban Israel atas dugaan pelanggaran HAM di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Langkah pencabutan visa ini memunculkan pertanyaan besar mengenai prinsip nurani dan kemanusiaan yang saat ini dianut oleh Washington.

Sejumlah pihak menyebut bahwa alasan “keamanan nasional” yang digunakan AS hanyalah dalih politik, bukan urgensi faktual.

Langgar Perjanjian Internasional dan Rugikan Kredibilitas PBB

Pencabutan visa oleh AS dianggap melanggar Perjanjian Markas Besar PBB–AS tahun 1947, yang mewajibkan AS sebagai tuan rumah untuk memberikan akses masuk kepada seluruh perwakilan negara anggota PBB maupun pengamat.

Meskipun Palestina bukan anggota penuh, negara tersebut telah memegang status pengamat resmi sejak 1974, dan sejak Resolusi 43/177 pada 1988, telah diakui sebagai “Palestina” dalam sistem PBB.

Langkah AS terhadap Mahmoud Abbas dan delegasinya dinilai bertentangan dengan kewajiban hukum internasional, serta menciptakan preseden buruk dalam pelaksanaan diplomasi multilateral.

Tindakan selektif seperti ini merusak kredibilitas PBB sebagai forum global yang inklusif, dan membuka celah bagi politisasi lembaga internasional oleh kepentingan sepihak.

Kasus ini mengingatkan pada insiden tahun 1988, ketika AS juga menolak memberikan visa kepada perwakilan Palestina, sehingga Majelis Umum PBB sementara dipindahkan ke Jenewa.

Kondisi serupa kini kembali memicu wacana pemindahan permanen Markas Besar PBB dari New York, sebagai respons atas ketidaknetralan AS dalam menjalankan peran sebagai tuan rumah.

Penulis :
Aditya Yohan