Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Ombudsman Desak Pemerintah Perbaiki Tata Kelola Beras, Potensi Kerugian Negara Capai Triliunan Rupiah

Oleh Arian Mesa
SHARE   :

Ombudsman Desak Pemerintah Perbaiki Tata Kelola Beras, Potensi Kerugian Negara Capai Triliunan Rupiah
Foto: Tangkapan layar - Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika (kiri) dalam konferensi pers bertajuk "Menjamin Hak Publik atas Beras Berkualitas dan Terjangkau", yang dipantau secara daring di Jakarta (sumber: ANTARA/YouTube/Ombudsman RI)

Pantau - Ombudsman Republik Indonesia mendorong pemerintah memastikan bantuan pangan beras bagi masyarakat miskin tetap disalurkan hingga Desember 2025, sekaligus memperbaiki tata kelola perberasan nasional yang dinilai bermasalah.

Dorongan Ombudsman untuk Pemerintah

Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika menegaskan kenaikan harga beras bukan disebabkan oleh kekurangan stok, melainkan akibat tata kelola perberasan yang tidak optimal.

"Untuk itu Ombudsman memberikan catatan kepada pemerintah untuk segera memperbaiki tata kelola perberasan nasional," ujarnya dalam konferensi pers Menjamin Hak Publik atas Beras Berkualitas dan Terjangkau.

Ombudsman merekomendasikan pemerintah memperkuat operasi pasar Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dengan jaminan kualitas, mendorong Satgas Pangan mengevaluasi distribusi, serta menciptakan iklim usaha yang transparan dan nyaman bagi pelaku usaha.

Selain itu, karena adanya potensi kerugian negara, Ombudsman menyarankan Presiden Prabowo Subianto menugaskan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan evaluasi menyeluruh agar tata kelola pangan lebih akuntabel serta pembagian peran antar-instansi lebih jelas.

Ombudsman juga berencana melakukan investigasi lebih lanjut terkait tata kelola cadangan beras pemerintah.

Hasil Pemantauan dan Potensi Kerugian

Sejak Agustus 2025, Ombudsman melakukan pemantauan di Karawang, Pasar Induk Beras Cipinang, 137 ritel tradisional di 25 provinsi, serta ritel modern di Jabodetabek.

Hasil pemantauan menunjukkan pasokan gabah ke penggilingan padi menurun dan dari 35 ritel modern di Jabodetabek, delapan di antaranya tidak memiliki stok beras.

Harga beras tercatat bervariasi, yakni premium Rp14.700 – Rp32.400 per kilogram, non-premium Rp21.000 – Rp37.500 per kilogram, sedangkan beras operasi pasar SPHP dijual Rp12.500 per kilogram namun kualitasnya sering dikeluhkan masyarakat.

Ombudsman mencatat stok cadangan beras pemerintah mengkhawatirkan, karena dari total 3,9 juta ton beras Bulog, lebih dari 1,2 juta ton berumur lebih dari enam bulan.

"Kondisi ini berpotensi menimbulkan disposal hingga 300 ribu ton dengan taksiran kasar kerugian negara sekitar Rp4 triliun," ungkap Yeka.

Realisasi penyaluran SPHP tercatat baru 302 ribu ton atau 20 persen dari target 1,5 juta ton, dengan rata-rata distribusi harian 2.392 ton, jauh di bawah kebutuhan harian 86.700 ton.

Sementara itu, realisasi bantuan pangan beras baru mencapai 360 ribu ton atau sekitar 98,62 persen, lebih rendah dibandingkan tahun 2024.

SPHP dan bantuan pangan hingga kini belum mampu menekan harga beras yang masih berada di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).

Kondisi ini memperbesar biaya pengelolaan di Bulog, mulai dari pengadaan gabah kualitas apa pun, penyimpanan stok hingga 4 juta ton, serta penyaluran cadangan beras pemerintah yang rendah.

"Total taksiran kasar potensi kerugian negara akibat tata kelola perberasan tersebut diperkirakan mencapai Rp3 triliun," ucap Yeka.

Ia menambahkan bahwa kondisi ini membuka ruang terjadinya malaadministrasi dengan potensi utama berupa risiko disposal stok cadangan beras pemerintah, penyaluran SPHP yang tidak berkualitas, keterbatasan beras di ritel modern, harga beras yang tetap di atas HET, hingga potensi penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan cadangan beras pemerintah.

"Publik kini menghadapi situasi harga mahal, kualitas rendah, dan distribusi terbatas. Jika ini dibiarkan, akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pangan," ujar Yeka.

Penulis :
Arian Mesa