
Pantau - Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada (CfDS UGM) menyoroti bagaimana algoritma pada platform transportasi daring memengaruhi performa dan kesejahteraan mitra pengemudi.
Algoritma Preferensial dan Dampaknya
Peneliti CfDS UGM, Ayom Mratita Purbandani, menjelaskan bahwa tata kelola pada platform transportasi daring tidak lagi dilakukan lewat pengawasan langsung, melainkan melalui metrik algoritmik yang buram dan real-time.
“Platform transportasi daring menciptakan sebuah disiplin baru, di mana tata kelola bukan melalui pengawasan langsung, melainkan melalui metrik algoritmik yang bersifat opaque (buram) dan real-time,” ujarnya dalam diskusi virtual “Algorithms at the Wheel: Global Perspectives on Ride-Hailing Work”.
Riset CfDS UGM menemukan bahwa sistem kecerdasan buatan (AI) pada platform dirancang dengan algoritma preferensial yang lebih mengutamakan kepentingan perusahaan.
Beberapa cirinya antara lain:
- Memanfaatkan tenaga kerja fleksibel dengan menuntut pengemudi bekerja dalam durasi panjang agar tetap terlihat oleh sistem.
- Menjaga ketersediaan pengemudi secara konstan.
- Memungkinkan diskriminasi harga melalui skema harga dinamis dan diferensiasi regional.
“Hal ini mendukung maksimalisasi keuntungan, sekaligus menjauhkan platform dari tanggung jawab ketenagakerjaan,” kata Ayom.
Tekanan Psikologis dan Tuntutan Transparansi
Algoritma tersebut juga berdampak pada psikologis pengemudi, antara lain:
- kelelahan afektif,
- kecemasan terhadap visibilitas aplikasi,
- rasa takut untuk offline,
- ketidakamanan akibat pendapatan yang tidak pasti.
“Banyak pengemudi menyatakan ketidaknyamanan saat beristirahat, takut akun ‘tidak aktif’,” ujar Ayom.
Meskipun platform mengklaim menawarkan fleksibilitas dan inovasi, riset CfDS menyoroti kenyataan bahwa mitra pengemudi menghadapi keputusan yang tidak transparan, penalti berbasis performa yang tidak jelas, serta insentif yang tidak menentu.
Akademisi UGM, Suci Lestari Yuana, menambahkan bahwa algoritma adalah bagian dari infrastruktur digital platform.
“Aksi kolektif dari para pekerja platform, kolaborasi dari mitra dan peneliti bisa membuat desain riset dan rekomendasi, serta solidaritas secara metodologi,” katanya.
Suci juga menekankan pentingnya transparansi dari pihak platform dan menyarankan agar Asia Tenggara mengambil inspirasi dari General Data Protection Regulation (GDPR) Uni Eropa, dengan tetap menyesuaikan pada konteks pengawasan lokal.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf