
Pantau - Sejumlah kasus keracunan makanan siap saji dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai daerah, termasuk Jember, memicu perhatian akademisi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (Unej), Dr Nurhayati, yang menilai perlu ada penelusuran menyeluruh terhadap titik kritis penyebab keracunan.
Potensi Penyebab Keracunan
Dr Nurhayati menyatakan, "Saya prihatin dengan maraknya kasus keracunan akibat pangan siap saji yang dialami pelajar dalam Program MBG di sejumlah daerah, termasuk di Kabupaten Jember."
Menurutnya, penyebab keracunan dapat berasal dari paparan bahan kimia seperti residu pestisida, toksin mikroba, pangan segar yang tidak dicuci dengan baik, hingga proses memasak yang tidak cukup panas.
"Pangan segar yang diolah tanpa melalui proses pencucian yang baik memungkinkan terjadinya kontaminasi bahan kimia maupun kontaminasi mikroba. Begitu pula proses memasak yang kurang cukup panas maka berpotensi tumbuhnya mikroba perusak maupun patogen," ungkapnya.
Bahan pangan yang rusak oleh mikroba bisa menimbulkan bau busuk dan berbahaya jika menghasilkan toksin, seperti enterotoksin, botulin, atau senyawa kimia H₂S.
"H₂S memiliki bau telur busuk yang menyengat dan beracun. Keberadaan sel mikroba hidup juga bisa menyebabkan penyakit seperti diare, tipus, kolera dan lainnya," jelasnya.
Mikroba patogen yang berpotensi menyebabkan keracunan antara lain Salmonella spp., E. coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, hingga Listeria monocytogenes.
Selain itu, alat dan bahan yang tidak dicuci bersih juga meningkatkan risiko kontaminasi, termasuk oleh bakteri E. coli dan Salmonella sp.
"Proses memasak makanan yang tidak matang sempurna bisa menjadi sumber bakteri patogen masih hidup terutama pangan kaya protein seperti daging dan ikan," tambahnya.
Titik Kritis dalam Penyajian Makanan
Dr Nurhayati menjelaskan, panas berlebih dapat merusak nutrisi seperti vitamin C, sedangkan penyimpanan makanan pada suhu ruang 5–60 derajat Celcius justru masuk dalam zona bahaya.
"Penyimpanan sebelum penyajian yang dilakukan pada suhu ruang 5-60 derajat Celcius adalah masuk ke dalam zona bahaya karena mikroba perusak maupun patogen berkembang pada suhu tersebut. Dalam artian kurang pendinginan untuk makanan dingin, atau kurang penghangatan untuk makanan panas," terangnya.
Ia menambahkan, penyajian makanan terbuka terlalu lama bisa menyebabkan kontaminasi debu, serangga, hingga kontaminasi silang dari sentuhan tangan.
"Peralatan saji seperti stainless stell lebih mudah menghantarkan panas untuk mendukung pertumbuhan mikroba kontaminasi yang ada. Terlebih penyajian dilakukan pas jadwal makan siang, sedangkan produk diolah pagi hari," jelasnya lagi.
Kontaminasi silang dari pukul 06.00 hingga 11.00 WIB berpotensi meningkatkan pertumbuhan mikroba lebih dari 10 ribu sel, padahal keracunan bisa terjadi hanya dengan 3 ribu sel patogen.
Faktor kebersihan penyaji juga berpengaruh, seperti tidak mencuci tangan, tidak memakai sarung tangan, hingga tidak menggunakan penutup kepala.
"Konsumen yang mengkonsumsi makanan secara bersama-sama sebenarnya bisa menjadi kurang terkontrol higienitasnya, sehingga dapat meningkatkan risiko penyebaran penyakit," ujarnya.
Harapan untuk Program MBG
Dr Nurhayati menekankan agar semua pihak yang terlibat dalam MBG memperhatikan titik kritis penyajian makanan, mulai dari kebersihan bahan, proses memasak, penyimpanan, hingga penyajian.
"Adanya kelalaian pada salah satu titik kritis maka akan berisiko keracunan makanan dan memungkinkan pula penyakit bawaan pangan meningkat seperti tipus dan diare," pungkasnya.
Kasus terbaru yang dilaporkan terjadi di Kabupaten Jember, di mana belasan siswa SDN 05 Sidomekar diduga mengalami keracunan setelah menyantap menu MBG di sekolah pada Jumat (26/9).
- Penulis :
- Shila Glorya