
Pantau - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menegaskan bahwa penguatan pengawasan dan peningkatan kualitas pelayanan keimigrasian merupakan langkah strategis demi melindungi kepentingan publik sekaligus menjaga kedaulatan negara dari ancaman pelanggaran hukum lintas negara.
Keimigrasian Butuh Sinergi Lintas Lembaga
Dalam kunjungan kerja ke Yogyakarta, Senin (6/10), Anggota Ombudsman RI Jemsly Hutabarat menyampaikan bahwa berbagai isu keimigrasian seperti pekerja migran non-prosedural, penyalahgunaan izin tinggal, hingga investasi fiktif oleh warga negara asing (WNA) tidak bisa diselesaikan secara sektoral.
"Ini tidak dapat diselesaikan secara sektoral, tetapi perlu kolaborasi lintas lembaga," ungkapnya.
Jemsly menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga pengawasan agar negara benar-benar hadir dalam melindungi masyarakat.
Ia juga menyoroti masih banyak masyarakat yang belum memahami hak dan kewajiban dalam pelayanan keimigrasian.
Sosialisasi yang intensif pun dinilai penting, termasuk penjelasan hukum yang jelas jika terjadi penolakan permohonan paspor atau tindakan administratif lain.
"Jika ada penolakan atau tindakan, sampaikan dasar hukumnya secara jelas," tegasnya.
Jemsly menjelaskan bahwa petugas imigrasi tidak sedang berhadapan dengan individu, melainkan menjalankan hukum atas nama negara.
Menurutnya, pelayanan publik adalah hak konstitusional warga negara yang harus dipenuhi secara cepat dan tepat, tetapi tanpa mengorbankan aspek pengawasan dan kepastian hukum.
"Dua indikator yang selalu kami nilai di Ombudsman adalah kualitas layanan dan potensi malaadministrasi. Kombinasi keduanya menjadi dasar penilaian Opini Pelayanan Publik," tambahnya.
Yogyakarta Hadapi Tantangan Pengawasan dan Penyaluran Informasi
Kepala Kantor Imigrasi Yogyakarta, Tedy Riyandi, menjelaskan bahwa tantangan utama adalah memastikan paspor tidak disalahgunakan oleh calon pekerja migran non-prosedural.
Meski dokumen seperti KTP, KK, dan ijazah lengkap, wawancara sering menunjukkan indikasi akan digunakan untuk bekerja secara ilegal di luar negeri.
Dalam kasus tersebut, pihaknya menunda penerbitan paspor dan meminta dokumen tambahan.
Namun, langkah ini kerap menimbulkan keluhan karena biaya paspor sudah dibayarkan.
"Kalau pengawasan dilemahkan, negara bisa kacau. Penerbitan paspor bukan hanya soal administrasi, tetapi juga soal keamanan nasional," tegas Tedy.
Ia juga menyoroti pentingnya komunikasi publik yang baik, termasuk soal paspor berbahan polikarbonat yang belum tersedia di semua wilayah.
Saat ini, paspor jenis tersebut hanya bisa diterbitkan di kantor tertentu seperti Jakarta Selatan dan Jakarta Barat.
Pelanggaran WNA dan Inovasi Pengawasan Digital
Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Yogyakarta, Sefta Adrianus Tarigan, menambahkan bahwa pelanggaran umum yang terjadi mencakup penyalahgunaan izin tinggal, overstay, dan investasi fiktif bernilai miliaran rupiah.
Menurutnya, Yogyakarta memiliki tantangan besar dalam pengawasan karena banyaknya pintu masuk, mulai dari bandara, jalur darat, hingga kereta api.
"Data kami mencatat hanya sekitar 1.700 hingga 3 ribu WNA yang mengurus izin tinggal, padahal jumlah sebenarnya diperkirakan mencapai 5 ribu hingga 10 ribu orang," ungkap Sefta.
Sebagai respons, mereka mengembangkan Aplikasi Pelaporan Orang Asing (APOA) yang mewajibkan pengelola penginapan untuk melaporkan tamu WNA secara daring.
Saat ini, hampir 30 ribu WNA telah dilaporkan melalui APOA, menjadikan Yogyakarta sebagai wilayah kedua terbanyak setelah Bali dalam pelaporan keimigrasian digital.
Ombudsman RI menyatakan akan terus mendorong penguatan kolaborasi antara lembaga pengawas, instansi teknis, dan pemerintah daerah untuk menciptakan pelayanan publik yang berkualitas dan bebas dari malaadministrasi.
Sinergi lintas sektor dinilai menjadi kunci dalam mencegah pelanggaran keimigrasian dan memastikan perlindungan maksimal bagi masyarakat.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf








