billboard mobile
FLOII Event 2025 - Paralax
ads
Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Pemerintah Targetkan Pertumbuhan Ekonomi 8% per Tahun, Usulkan Pembiayaan Tanpa Bunga Berbasis Biaya Dasar Layanan

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Pemerintah Targetkan Pertumbuhan Ekonomi 8% per Tahun, Usulkan Pembiayaan Tanpa Bunga Berbasis Biaya Dasar Layanan
Foto: (Sumber: Petugas keamanan melayani nasabah Bank Rakyat Indonesia (BRI) saat Hari Pelanggan Nasional di Kantor Cabang BRI Kelapa Gading, Jakarta, Kamis (4/9/2025).)

Pantau - Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen per tahun di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Meski ambisius, target ini dinilai dapat dicapai dengan pendekatan sistem pembiayaan yang lebih inklusif dan efisien.

Hal yang lebih penting dari sekadar angka pertumbuhan adalah bagaimana strategi mencapainya secara berkelanjutan dan merata.

Kritik Terhadap Sistem Berbasis Bunga

Selama ini, sistem pembiayaan nasional masih bergantung pada skema bunga dan margin perbankan yang menyebabkan perputaran uang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan barang dan jasa.

Kondisi ini membuat sektor perbankan tumbuh pesat, namun sektor riil justru tertinggal dan mengalami kesulitan untuk berkembang.

Sebagai solusi, pemerintah mendorong penerapan model pembiayaan berbasis biaya dasar layanan sebagai alternatif terhadap bunga atau margin keuntungan berbasis waktu.

Apa Itu Biaya Dasar Layanan?

Biaya dasar layanan adalah kompensasi tetap yang dibayarkan debitur untuk menutup:

  • biaya administrasi
  • sistem
  • pengawasan
  • sumber daya manusia

Berbeda dengan bunga, biaya dasar ditetapkan di awal dan tidak berubah berdasarkan lamanya tenor pinjaman.

Biaya ini tidak memperjualbelikan waktu, melainkan memberikan nilai atas kerja dan pelayanan yang nyata.

Sebagai ilustrasi perbandingan:

Dalam sistem bunga: pinjam Rp10 juta, bunga 10%, total pengembalian Rp11 juta.

Dalam sistem biaya dasar: hanya membayar biaya layanan Rp500 ribu, total pengembalian Rp10,5 juta.

Biaya dasar dihitung berdasarkan ongkos riil pelayanan, bukan sebagai persentase dari pokok pinjaman atau jangka waktu.

Dengan pendekatan ini, lembaga keuangan tetap bisa beroperasi secara sehat tanpa mengejar profit berlebihan, sementara masyarakat mendapat akses modal yang lebih murah, transparan, dan adil.

Negara juga diuntungkan dengan pertumbuhan sektor riil yang lebih merata dan berkelanjutan.

Tantangan dan Potensi Implementasi

Salah satu alasan bank kerap menolak model pembiayaan nirlaba adalah karena biaya operasional yang tinggi.

Namun, laporan keuangan bank menunjukkan bahwa sebagian besar biaya tersebut berasal dari biaya korporat, seperti:

  • bonus
  • promosi
  • target laba
  • overhead manajerial

Sebagai contoh, bank-bank BUMN mencatat biaya operasional mencapai Rp58 triliun per tahun dengan rasio efisiensi (BOPO) sekitar 50–70 persen.

Artinya, separuh pendapatan bank habis untuk kebutuhan internal, bukan untuk pelayanan langsung kepada nasabah.

Jika fokus hanya pada biaya operasional inti seperti sistem, SDM, dan infrastruktur layanan, maka kebutuhan riil jauh lebih kecil.

Di sinilah konsep biaya dasar layanan menjadi relevan dan realistis diterapkan tanpa mengorbankan mutu layanan keuangan.

Studi Kasus: PNM Buktikan Model Ini Bisa Berjalan

Data dari Permodalan Nasional Madani (PNM) memperkuat kelayakan sistem ini. Hingga akhir 2024, PNM mencatat:

  • 15,4 juta nasabah aktif
  • Pendapatan bersih Rp13,37 triliun
  • Beban operasional Rp11,88 triliun
  • Laba bersih Rp1,49 triliun

Jika biaya operasional inti dibagi rata ke seluruh nasabah, maka setara Rp770 ribu per tahun atau sekitar Rp64 ribu per bulan.

Angka ini menunjukkan bahwa skema pembiayaan berbasis layanan dapat dilaksanakan secara realistis, berkelanjutan, dan menguntungkan semua pihak.

Dengan penerapan model ini, pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun bukanlah sekadar target, tapi tujuan yang dapat dicapai melalui sistem keuangan yang lebih adil dan produktif.

Penulis :
Aditya Yohan