
Pantau - Anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan, menanggapi pernyataan Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang menargetkan swasembada pangan tercapai dalam waktu 2 hingga 3 bulan ke depan, dengan menekankan bahwa keberhasilan tersebut harus dibuktikan secara nyata di lapangan.
Daniel menyebut bahwa swasembada pangan merupakan cita-cita nasional yang mulia, namun tidak cukup jika hanya dipaparkan dalam bentuk angka atau janji politik.
"Bagi kami, persoalan utama pertanian nasional bukan hanya berapa banyak beras yang dipanen, tetapi seberapa kuat fondasi ekosistem pertanian kita untuk menopang ketahanan pangan secara berkelanjutan", ujarnya.
"Maka swasembada pangan harus nyata, bukan sekadar janji-janji atau angka politik", tegas Daniel.
Apresiasi Capaian Produksi, Kritik Terhadap Biaya Produksi Tinggi
Pernyataan Menteri Pertanian Amran Sulaiman disampaikan dalam konferensi pers di Kompleks Istana Kepresidenan pada Kamis, 9 Oktober 2025, di mana ia menyebut produksi beras tahun ini telah mencapai 33,1 juta ton dan ditargetkan mencapai 34 juta ton pada akhir tahun, sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto.
Daniel mengapresiasi capaian produksi tersebut, namun mengingatkan bahwa masih banyak petani di lapangan yang menghadapi beban biaya produksi tinggi.
Menurutnya, harga pupuk, benih unggul, dan solar subsidi yang tidak merata menjadi hambatan serius bagi efisiensi pertanian.
"Banyak daerah pertanian yang masih kesulitan mendapatkan pupuk subsidi tepat waktu, sementara harga eceran pupuk non-subsidi naik signifikan. Jadi biaya produksi yang tidak efisiensi penting untuk diatasi karena bila tidak akan menggerus daya saing produksi petani kita", ungkap Daniel.
Ia juga menekankan bahwa keberhasilan swasembada akan kehilangan makna jika petani tetap hidup dalam kondisi ketidakpastian.
"Perlu digarisbawahi, swasembada tidak akan berarti jika petani tetap hidup dalam ketidakpastian dan margin keuntungan yang tipis", tambahnya.
Ketergantungan Impor dan Tantangan Iklim Jadi Sorotan
Daniel turut menyoroti ketergantungan sektor pertanian terhadap impor bahan baku seperti pupuk, pestisida, dan alat pertanian.
"Nah, Pemerintah harus menyiapkan strategi substitusi impor dan memperkuat industri hulu pertanian dalam negeri agar ketahanan pangan benar-benar berdiri di atas kaki sendiri", ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya adaptasi iklim dalam perencanaan swasembada.
Menurut Daniel, pola musim yang tidak menentu dan curah hujan ekstrem harus menjadi perhatian pemerintah.
"Target swasembada tidak akan tercapai tanpa adaptasi iklim di sektor pertanian. Misalnya, pembangunan embung, irigasi presisi, serta varietas benih tahan kekeringan dan banjir", jelasnya.
Daniel juga menyayangkan fokus pemerintah yang terlalu berat di sisi produksi tanpa memperhatikan konservasi sumber daya.
"Pemerintah sering kali hanya menyoroti sisi produksi, tetapi melupakan investasi pada sistem irigasi dan konservasi lahan yang rusak", ucapnya.
Kekhawatiran Krisis Petani Muda
Lebih lanjut, Daniel mengungkapkan bahwa lebih dari 60 persen petani Indonesia saat ini berusia di atas 45 tahun.
Ia khawatir dengan menurunnya minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian.
"Jika negara tidak serius menyediakan insentif dan akses tanah bagi petani muda, maka dalam 10–15 tahun ke depan kita bisa menghadapi krisis tenaga kerja pertanian", pungkasnya.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf