
Pantau - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perlunya izin dari Jaksa Agung untuk menangkap jaksa, kecuali dalam kondisi tertentu, sebagai bentuk dukungan terhadap profesionalisme dan integritas aparat penegak hukum.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, menyatakan bahwa keputusan tersebut bukan bentuk kekebalan hukum bagi jaksa.
"Jaksa enggak kebal hukum juga. Malah ini bagus untuk kita semua agar semakin waspada dan berintegritas, bekerja profesional," ungkapnya.
Ia juga menegaskan bahwa Kejagung terus mendorong jaksa agar bekerja secara profesional dan menjunjung tinggi integritas.
"Kami memang mendorong jaksa untuk semakin bekerja profesional, berintegritas. Enggak ada masalah," ia mengungkapkan.
Putusan MK dan Implikasi Hukumnya
Putusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan hasil uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Permohonan diajukan oleh aktivis Agus Setiawan dan advokat Sulaiman, yang menggugat keabsahan Pasal 8 ayat (5) dalam undang-undang tersebut.
Pasal itu sebelumnya menyatakan bahwa pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung, tanpa pengecualian.
MK kemudian memberikan tafsir baru bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, apabila tidak dimaknai secara terbatas.
Pengecualian diberikan dalam kasus di mana jaksa:
- Tertangkap tangan melakukan tindak pidana (OTT)
- Disangka melakukan tindak pidana dengan bukti permulaan yang cukup, yaitu:
- Kejahatan dengan ancaman pidana mati
- Kejahatan terhadap keamanan negara
- Tindak pidana khusus
Pertimbangan Mahkamah dan Dampaknya
Hakim Konstitusi Arsul Sani menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi aparat penegak hukum memang dibutuhkan dalam konteks pelaksanaan tugas.
Namun, Mahkamah menilai perlakuan khusus terhadap jaksa harus tetap berada dalam batas yang wajar dan tidak melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum.
Menurut Mahkamah, jika tidak ada pengecualian, norma tersebut bisa menghambat penegakan hukum dan menciptakan ketimpangan antarpenegak hukum.
"Maka tidak ada pilihan lain bagi Mahkamah berkaitan dengan norma Pasal 8 ayat (5) UU 11/2021 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat," ujar Arsul Sani dalam pembacaan putusan.
- Penulis :
- Arian Mesa