billboard mobile
Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Dana Daerah Jangan Mengendap di Bank, Mendagri dan Menkeu Sepakat Percepat Belanja untuk Masyarakat

Oleh Leon Weldrick
SHARE   :

Dana Daerah Jangan Mengendap di Bank, Mendagri dan Menkeu Sepakat Percepat Belanja untuk Masyarakat
Foto: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian hadiri Rapat Pengendalian Inflasi Daerah di Kantor Kemendagri, Jakarta, Senin 20/10/2025 (sumber: ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat)

Pantau - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa dana pemerintah daerah (pemda) tidak boleh mengendap di perbankan, melainkan harus segera dibelanjakan demi kepentingan masyarakat.

"Tujuan kita sama, dana daerah jangan mengendap di bank, tapi segera dibelanjakan untuk masyarakat," ujar Tito di Jakarta, Sabtu (25/10).

Perbedaan Data Bukan Masalah Prinsip

Tito menjelaskan bahwa perbedaan data simpanan pemda antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak mencerminkan perbedaan prinsip, melainkan hanya perbedaan teknis dalam metode pelaporan.

Data Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) milik Kemendagri menunjukkan bahwa per Oktober 2025, simpanan pemda mencapai Rp215 triliun.

Sementara itu, data dari Bank Indonesia (BI) yang dikutip oleh Menkeu menunjukkan simpanan pemda sebesar Rp233 triliun per Agustus 2025.

Tito menegaskan bahwa selisih Rp18 triliun tersebut dapat dijelaskan secara logis karena adanya perbedaan waktu pelaporan.

"Sangat wajar jika berkurang. Kalau Agustus Rp233 triliun, lalu Oktober Rp215 triliun, artinya Rp18 triliun itu sudah dibelanjakan," ungkap Tito.

Ia juga menyatakan bahwa Kemenkeu dan Kemendagri memiliki semangat yang sama, yaitu mempercepat penyerapan anggaran agar dana yang ada memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

Akademisi Dukung Penyerapan Anggaran Cepat

Dosen Hukum Pemerintahan Daerah Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Hestu Cipto Handoyo, menyatakan sepakat dengan pernyataan kedua menteri tersebut mengenai pentingnya penggunaan dana daerah secara optimal.

Menurut Hestu, perbedaan data tidak menunjukkan konflik, melainkan hanya soal teknis dan metodologis.

"Baik Kemenkeu maupun Kemendagri berupaya memperkuat disiplin fiskal daerah. Perbedaan data jangan diartikan perbedaan arah, karena tujuannya tetap sama: memastikan uang daerah bekerja untuk rakyat, bukan mengendap di rekening," kata Hestu.

Ia menjelaskan bahwa data BI menunjukkan posisi simpanan pemda di bank pada waktu tertentu, sedangkan data SIPD bersifat dinamis dan harian karena berasal dari laporan administratif Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) sesuai Permendagri Nomor 70 Tahun 2019.

"SIPD merekam kondisi kas daerah yang terus bergerak, sementara data BI bersifat posisi tetap (cut-off), jadi wajar jika angkanya berbeda," ujar Hestu.

Hestu mengidentifikasi tiga penyebab utama selisih data:

Perbedaan waktu pelaporan (cut-off date) antara BI dan SIPD.

Perbedaan definisi akun, karena tidak semua rekening atas nama pemda mencerminkan kas operasional.

Kesalahan input atau keterlambatan pelaporan karena keterbatasan SDM dan sistem di daerah.

Menurut Hestu, semua faktor ini bisa diklarifikasi melalui proses rekonsiliasi administratif tanpa perlu diasumsikan sebagai pelanggaran.

"Rekonsiliasi data antara ketiga lembaga ini sangat penting untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas keuangan negara," tegas Hestu.

Ia juga menyarankan agar hasil rekonsiliasi diumumkan bersama oleh BI, Kemenkeu, dan Kemendagri agar publik menerima data yang tervalidasi dan menghindari perbedaan penafsiran.

Penulis :
Leon Weldrick