Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Restrukturisasi WIKA Mendesak, Pengamat Dorong Peran Danantara dan Konsolidasi BUMN Konstruksi

Oleh Arian Mesa
SHARE   :

Restrukturisasi WIKA Mendesak, Pengamat Dorong Peran Danantara dan Konsolidasi BUMN Konstruksi
Foto: Ilustrasi PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau WIKA (sumber: PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau WIKA)

Pantau - Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara didorong untuk terlibat dalam proses restrukturisasi keuangan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau WIKA, seiring dengan memburuknya kondisi keuangan perusahaan konstruksi milik negara tersebut.

Dorongan Konsolidasi dan Peran Strategis Danantara

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menyatakan bahwa Danantara memiliki posisi strategis sebagai lembaga pengelola BUMN pasca transformasi setelah pembubaran Kementerian BUMN.

Menurut Yayat, restrukturisasi WIKA dapat dilakukan melalui konsolidasi antar BUMN konstruksi guna menciptakan efisiensi dan memperkuat struktur permodalan.

"Kalau dilikuidasi jelas berat. Tapi opsi penggabungan beberapa badan usaha bisa menjadi jalan tengah untuk penyehatan," ungkapnya.

Langkah konsolidasi ini dinilai penting untuk menghindari potensi kerugian yang lebih besar dan menyelamatkan keberlangsungan proyek strategis nasional.

Beban Utang Menggunung dan Tekanan Kinerja Keuangan

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menyebut restrukturisasi sebagai langkah tak terhindarkan bagi WIKA untuk bertahan di tengah tekanan keuangan yang berat.

WIKA menanggung beban besar akibat keterlibatannya dalam proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh), di mana perusahaan harus menyetor modal hampir Rp12 triliun.

Selain itu, beban bunga pinjaman dari proyek tersebut mencapai sekitar Rp2 triliun per tahun, yang semakin menekan arus kas perusahaan.

WIKA juga menghadapi jatuh tempo pembayaran bunga obligasi dan sukuk pada Februari 2025.

Kondisi makin diperparah dengan penurunan anggaran infrastruktur pemerintah pada 2025, yang membuat prospek proyek-proyek baru semakin terbatas.

Per September 2025, WIKA hanya berhasil memperoleh kontrak baru senilai Rp6,19 triliun, turun sekitar 60 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp15,58 triliun.

Pendapatan perusahaan juga turun sebesar 27,55 persen, dari Rp12,54 triliun menjadi Rp9,09 triliun, yang berdampak langsung pada kondisi likuiditas.

Arus kas operasi WIKA mengalami defisit hingga Rp1 triliun per September 2025, meningkat drastis dari defisit Rp218,9 miliar pada periode yang sama tahun lalu.

“Direstrukturisasi mau tidak mau utang WIKA itu harus disesuaikan. Ini sejalan dengan rencana restrukturisasi utang ke China yang bisa sampai 60 tahun. Jadi restrukturisasi memang menjadi alternatif agar WIKA bisa bertahan,” ia mengungkapkan.

Tauhid juga menekankan pentingnya penyesuaian bunga pinjaman agar perusahaan dapat memenuhi kewajibannya secara realistis.

Selain restrukturisasi, menurutnya, WIKA juga memerlukan dukungan proyek-proyek baru yang menguntungkan dari Pemerintah.

"Kalau untuk proyek kereta cepat saya kira sudah tidak mungkin, tapi untuk proyek baru infrastruktur masih bisa. Itu penting agar WIKA bisa menutup kerugian yang ada," ujarnya.

Penulis :
Arian Mesa