Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

MPR RI Bahas Masa Depan Otonomi Daerah dan Desa, Soroti Ketimpangan, Dualisme, dan Amandemen UUD

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

MPR RI Bahas Masa Depan Otonomi Daerah dan Desa, Soroti Ketimpangan, Dualisme, dan Amandemen UUD
Foto: (Sumber: Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI Hindun Anisah. ANTARA/HO-MPR.)

Pantau - Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Hindun Anisah, menegaskan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah merupakan instrumen penting dalam pemerintahan yang demokratis, efektif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Menurutnya, dengan kewenangan yang lebih luas, pemerintah daerah dapat menggali potensi lokal, mendorong inovasi, dan memberikan pelayanan publik secara lebih cepat dan tepat kepada masyarakat.

Namun, pelaksanaan otonomi daerah masih dihadapkan pada berbagai tantangan, seperti ketimpangan pembangunan antarwilayah, kapasitas tata kelola yang belum merata, dan minimnya koordinasi antara pusat dan daerah.

Hal tersebut disampaikan Hindun dalam Forum Group Discussion (FGD) Kelompok III Badan Pengkajian MPR RI bertema Desentralisasi, Otonomi Daerah, Pemerintahan Daerah dan Desa.

Bahas Lima Fokus Kajian, MPR Siapkan Rekomendasi Strategis untuk Perbaikan Tata Kelola Daerah

FGD ini merupakan bagian dari agenda Badan Pengkajian MPR RI periode 2024–2029 yang memiliki lima fokus utama:

  • Kedaulatan rakyat dalam perspektif demokrasi Pancasila
  • Kewenangan dan pola hubungan antar lembaga negara
  • Desentralisasi dan otonomi daerah
  • Sistem keuangan negara
  • Pertahanan dan keamanan negara

Hindun menyoroti isu-isu strategis yang perlu dikaji lebih dalam, seperti:

  • Relevansi pengaturan pemerintahan daerah dalam UUD 1945
  • Tarik-menarik kepentingan antara pusat dan daerah
  • Ketidakjelasan pengaturan desa dalam konstitusi
  • Dualisme kelembagaan desa akibat tumpang tindih kewenangan antar kementerian
  • Sistem Pilkada langsung yang memicu biaya politik tinggi dan polarisasi sosial

"Melalui forum ini, kami berharap akan lahir rekomendasi yang konstruktif untuk memperkuat kebijakan desentralisasi, memperbaiki tata kelola pemerintahan daerah, dan meningkatkan pelayanan publik demi kesejahteraan masyarakat," ungkap Hindun.

Ia menegaskan bahwa FGD ini menjadi bagian dari penyusunan kajian komprehensif MPR RI yang berpotensi memberi masukan terhadap arah kebijakan ketatanegaraan, termasuk kemungkinan amandemen terbatas UUD 1945 di masa mendatang.

Akademisi Dorong Reformulasi Hubungan Pusat-Daerah dan Tata Kelola Desa

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Fifiana Wisnaeni, menekankan bahwa pelaksanaan otonomi daerah harus berpijak pada tiga prinsip dasar negara: negara kesatuan, kedaulatan rakyat, dan negara hukum.

"Otonomi daerah yang luas harus dimaknai dalam kerangka NKRI. Penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak boleh bertentangan dengan kebijakan nasional," ujarnya.

Fifiana mengkritisi ketidakjelasan relasi antara provinsi dan kabupaten/kota, yang sering menimbulkan gesekan kewenangan.

"Seharusnya ada kejelasan hubungan hierarki antara gubernur, bupati, dan wali kota. Karena bagaimanapun, gubernur berkedudukan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah," jelasnya.

Ia juga menyoroti dualisme kewenangan antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, PDTT yang sering membingungkan pelaksana kebijakan di tingkat desa.

Sebagai solusi, Fifiana mengusulkan reformasi sistem Pilkada, dengan mekanisme pengusulan calon kepala daerah oleh DPRD dan penetapan oleh Presiden, sebagaimana diterapkan di masa Orde Baru.

"Mekanisme ini lebih efisien dan tetap demokratis karena rakyat tetap diwakili melalui DPRD. Selain itu, biaya politik juga jauh lebih ringan," tambahnya.

Tantangan di Level Desa: Intervensi, Ketimpangan, dan Kurangnya Sinkronisasi Kebijakan

Akademisi FISIP Universitas Diponegoro, Kushandayani, menyatakan bahwa NKRI bukan hanya bentuk negara, tetapi juga identitas kebangsaan yang menuntut komitmen kolektif dan tanggung jawab moral dalam tata kelola negara.

Ia menyoroti tantangan implementasi otonomi di level desa, seperti:

  • Hubungan hierarkis desa dengan kabupaten/kota yang rawan intervensi
  • Ketimpangan kuasa dalam pelaksanaan pembangunan di tingkat lokal

"Bagaimana pemerintah memperlakukan desa sebagai struktur pemerintahan terkecil di bawah kabupaten, dan dalam arena politik nasional maupun daerah, desa seringkali dipandang sebagai lumbung suara," ungkapnya.

Kushandayani juga menekankan pentingnya sinkronisasi antara peraturan pusat dan kebijakan daerah, terutama dalam sektor pendidikan, bahasa, dan sastra.

Menurutnya, sinkronisasi tersebut seringkali terhambat oleh sistem struktural kementerian yang tidak selaras dengan wilayah kerja pemerintah daerah, sehingga menurunkan efektivitas implementasi kebijakan di daerah.

Penulis :
Aditya Yohan
Editor :
Aditya Yohan