
Pantau - Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) resmi mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Pelindungan Anak di Ranah Dalam Jaringan 2025–2029 sebagai langkah strategis untuk menghadapi tantangan perlindungan anak di era digital.
Perpres ini menjadi tonggak penting dalam memperkuat sistem perlindungan anak di dunia maya yang semakin kompleks, menurut Menteri PPPA Arifah Fauzi.
Ia menyampaikan bahwa regulasi ini hadir untuk menjawab lemahnya mitigasi terhadap transformasi digital yang cepat, minimnya kemitraan strategis antarpemangku kepentingan, serta adanya fragmentasi kebijakan yang kerap menghambat efektivitas program perlindungan anak.
"Di samping itu pemanfaatan sumber daya dan pengelolaan data pelindungan anak masih perlu diperkuat agar kebijakan dapat lebih tepat sasaran dan berkelanjutan," ungkapnya.
Kekerasan Siber Mengancam Anak Indonesia
Berdasarkan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024, sebanyak 14,49 persen anak laki-laki usia 13–17 tahun pernah mengalami perundungan siber.
Sementara itu, 13,78 persen anak perempuan di kelompok usia yang sama juga mengalami hal serupa.
Temuan lainnya menunjukkan bahwa empat dari setiap 100 anak menjadi korban kekerasan seksual non-kontak di dunia maya.
Arifah menegaskan bahwa peta jalan ini akan menjadi panduan strategis untuk memperkuat ketahanan anak melalui dua kebijakan utama.
"Pertama, penguatan kapasitas anak, keluarga, dan masyarakat agar memiliki ketahanan dan kecakapan digital," katanya.
"Kedua, penguatan jejaring kerja sama lintas sektor antara kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat dalam pencegahan serta penanganan kasus kekerasan terhadap anak di dunia maya," tambahnya.
Ia juga mengingatkan bahwa anak-anak kini rentan terhadap berbagai ancaman digital, mulai dari perundungan siber (cyber bullying), eksploitasi seksual daring, grooming, hingga kecanduan gawai.
"Perlindungan anak di ranah digital harus menjadi bagian integral dari kebijakan nasional," ia mengungkapkan.
Kelompok Kerja Nasional Siap Jalankan Peta Jalan
Perpres 87 Tahun 2025 ini merupakan hasil kolaborasi berbagai pihak, termasuk anak-anak sebagai penerima manfaat utama, pakar dan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga pemerintah.
Sebagai tindak lanjut dari regulasi tersebut, pemerintah akan membentuk Kelompok Kerja Perlindungan Anak di Ranah Dalam Jaringan yang menjadi bagian dari Tim Koordinasi Perlindungan Anak Nasional.
Kelompok kerja ini memiliki mandat untuk mewadahi kolaborasi lintas sektor, mengoordinasikan pelaksanaan peta jalan, memfasilitasi pertukaran data, dan melakukan harmonisasi program perlindungan anak antarinstansi.
"Setiap anak memiliki hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, termasuk secara digital. Namun hak tersebut harus dibarengi dengan perlindungan yang kuat agar mereka tidak terjerumus dalam bahaya dunia maya," tegas Arifah.
Spesialis Perlindungan Anak dari UNICEF Indonesia, Astrid Gonzaga Dionisio, turut mengingatkan bahwa era digital menghadirkan peluang sekaligus risiko bagi anak-anak.
Menurutnya, anak-anak kini menghadapi kekerasan, eksploitasi, dan perundungan siber (cyber bullying) dalam skala yang semakin luas.
Sementara itu, studi tahun 2023 yang dilakukan oleh Kementerian PPPA dan UNICEF di tiga provinsi—Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan—mengungkap bahwa anak-anak di Indonesia rata-rata mengakses internet lebih dari lima jam per hari.
Sebagian dari mereka bahkan menjadi korban kekerasan daring tanpa mengetahui cara melapor atau mencari bantuan.
- Penulis :
- Shila Glorya







