
Pantau - Tanggal 10 November 2025 menjadi momen bersejarah bagi masyarakat Bima dan seluruh wilayah Nusa Tenggara Barat setelah Istana Negara secara resmi mengumumkan penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Sultan Muhammad Salahuddin, Sultan Bima ke-XIV.
Pengakuan atas Perjuangan Panjang
Pengumuman tersebut disampaikan bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan dan menjadi simbol pengakuan atas perjuangan panjang masyarakat Bima selama lebih dari satu dekade dalam mengusulkan nama Sultan Salahuddin sebagai pahlawan nasional.
Sultan Muhammad Salahuddin memimpin Kesultanan Bima dari tahun 1915 hingga 1951 dan dikenal sebagai pemimpin yang memanfaatkan kekuasaan bukan untuk dominasi, melainkan sebagai sarana pengabdian kepada rakyat.
Dalam masa pemerintahannya, Sultan memprioritaskan pembangunan pendidikan, memperkuat perekonomian rakyat, serta menanamkan nilai-nilai kebangsaan di tengah tekanan kolonial dan situasi menjelang kemerdekaan Indonesia.
Sikap Berani Membela Republik
Salah satu tonggak penting dalam sejarah Kesultanan Bima adalah maklumat yang diterbitkan Sultan Muhammad Salahuddin pada 22 November 1945 yang menyatakan kesetiaan penuh kepada Republik Indonesia.
Langkah tersebut diambil saat sebagian wilayah Indonesia masih dalam ketidakpastian terhadap arah perjuangan nasional.
Sultan dengan berani memutuskan untuk bergabung dengan Republik Indonesia meski harus melepaskan sebagian besar kekuasaan tradisionalnya dan merombak struktur kerajaan demi mendukung tatanan negara yang baru lahir.
Dalam masa kekuasaan Belanda, Sultan juga pernah memimpin Bima membebaskan diri selama 103 hari, sebuah bentuk perlawanan nyata terhadap penjajahan.
Kesetiaannya kepada republik menunjukkan kecintaan mendalam terhadap tanah air serta keberanian moral untuk mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan kekuasaan pribadi.
Penganugerahan gelar pahlawan nasional ini sekaligus menegaskan bahwa tokoh-tokoh daerah, khususnya dari wilayah timur Indonesia, memiliki kontribusi besar dalam perjuangan nasional yang selama ini belum banyak tercatat dalam arus utama sejarah bangsa.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf
- Editor :
- Tria Dianti








