
Pantau - Pengamat politik sekaligus Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak penyamaan masa jabatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) dengan Presiden dan anggota kabinet mencerminkan kedewasaan sistem demokrasi Indonesia.
Polri Harus Bebas dari Politisasi Jabatan
Menurut Boni, kematangan demokrasi terlihat dari kemampuan membedakan antara kontrol demokratis dan politisasi terhadap institusi negara.
Ia menegaskan bahwa kontrol demokratis dapat dijalankan melalui mekanisme persetujuan DPR terhadap pengangkatan Kapolri, namun institusi seperti Polri tidak boleh tunduk pada logika politik elektoral.
"Jabatan strategis seperti Kapolri meskipun diangkat Presiden, harus menjaga jarak dari politik demi objektivitas dan profesionalisme," ujarnya.
Boni mendukung putusan MK karena menegaskan bahwa Polri merupakan bagian integral dari negara yang tidak terikat dengan siklus politik, seperti halnya jabatan menteri yang bersifat temporer dan politis.
Fleksibilitas Masa Jabatan Jaga Stabilitas Keamanan
Putusan MK dinilai tepat karena tidak membatasi masa jabatan Kapolri secara periodik.
Boni menyebut pembatasan masa jabatan secara kaku justru dapat mengganggu penegakan hukum dan stabilitas keamanan nasional.
"Pendekatan fleksibel memberi ruang negara untuk merespons kondisi dan tantangan keamanan yang terus berubah," ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa keberlanjutan kepemimpinan lebih penting dibanding rotasi jabatan yang dipaksakan, terutama ketika Kapolri telah membangun sistem, memahami tantangan keamanan, serta menjalin kerja sama lintas pemangku kepentingan.
Putusan MK juga dianggap memperkuat independensi Polri dari kepentingan politik jangka pendek.
MK menegaskan bahwa hubungan Presiden dengan Kapolri adalah hubungan konstitusional, bukan hubungan atasan-bawahan dalam kabinet.
Putusan MK Tegaskan Polri sebagai Alat Negara
MK secara resmi menolak permohonan uji materi atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang diajukan oleh tiga mahasiswa, yakni Syukur Destieli Gulo, Christian Adrianus Sihite, dan Devita Analisandra.
Permohonan tersebut mempersoalkan Pasal 11 ayat (2) dan penjelasannya yang dinilai menyamakan jabatan Kapolri dengan menteri.
MK menyatakan bahwa penyamaan tersebut justru membuka ruang dominasi politik Presiden terhadap Polri.
MK menegaskan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang bertugas menegakkan hukum dan ketertiban, bukan alat politik.
Sebagai alat negara, Polri dituntut untuk menjunjung tinggi profesionalisme dan tidak berpihak pada kepentingan golongan manapun, termasuk kepentingan Presiden sekalipun.
- Penulis :
- Aditya Yohan








