
Pantau - Ribuan calon jemaah haji asal Kabupaten dan Kota Bogor dipastikan batal berangkat pada tahun 2026 akibat perubahan skema pembagian kuota nasional haji yang diterapkan oleh pemerintah.
Skema baru ini menyebabkan provinsi Jawa Barat mengalami pengurangan kuota secara signifikan, berdampak langsung pada calon jemaah dari Bogor.
Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi DPP Forum Komunikasi KBIHU (FK KBIHU), Dr Desi Hasbiyah, mengungkapkan kondisi ini saat ditemui di Cibinong, Bogor.
Ia menjelaskan bahwa perubahan kebijakan ini berdampak besar secara psikologis, terutama bagi mereka yang sudah menunggu belasan tahun dan telah melihat jadwal keberangkatan mereka di aplikasi Satu Haji.
“Banyak jamaah yang awalnya sudah siap berangkat tahun depan harus menerima kenyataan ditunda. Ini menciptakan tekanan emosional yang cukup berat,” ungkapnya.
Pengurangan Kuota dan Dasar Hukum Kebijakan
Kebijakan ini mengacu pada Pasal 13 ayat 2b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa pembagian kuota haji ditentukan berdasarkan proporsi daftar tunggu antardaerah, menggantikan sistem sebelumnya yang mengacu pada proporsi jumlah penduduk Muslim.
Akibatnya, kuota provinsi Jawa Barat turun drastis dari 38.723 menjadi 29.643 jemaah.
Kabupaten Bogor hanya memperoleh 1.598 kuota dari sebelumnya 3.189, sedangkan Kota Bogor mendapatkan 603 kuota dari sebelumnya 929.
Dr Desi menyebut bahwa penurunan kuota secara mendadak ini menimbulkan kecemasan, khususnya bagi jemaah lanjut usia atau yang memiliki kondisi kesehatan tertentu.
“Pertanyaan yang paling sering muncul adalah apakah mereka masih sempat berhaji di usia mereka sekarang. Itu menjadi kecemasan utama,” ujarnya.
Dampak Psikologis dan Langkah Pendampingan
Menurut Desi, meskipun perubahan ini bisa dimaknai sebagai langkah menuju keadilan distribusi kuota antarwilayah, proses adaptasinya tetap menantang karena menyangkut harapan religius masyarakat.
“Skema ini memang dimaksudkan untuk keadilan, tetapi dari sisi sosial, ada kejutan besar yang harus ditangani dengan baik,” ia mengungkapkan.
FK KBIHU menilai bahwa masalah utama bukan hanya soal jumlah kuota yang dikurangi.
Tekanan psikologis yang dialami jemaah akibat ketidakpastian dan penundaan menjadi persoalan besar yang perlu penanganan serius.
“Kami memandang perlunya perhatian serius pada kondisi batin jemaah. Mereka tidak boleh dibiarkan menghadapi ketidakpastian sendirian,” tegasnya.
Sebagai solusi, FK KBIHU meminta agar pembimbing ibadah haji dan tokoh masyarakat turun langsung melakukan pendampingan spiritual dan emosional secara intensif.
“Pembimbing harus hadir memberi penjelasan teologis, menguatkan konsep istitha’ah, pahala niat, serta kesabaran dalam menghadapi takdir. Ini penting untuk menjaga ketenangan mereka,” jelas Desi.
Ia menambahkan bahwa masa penundaan ini bisa dimanfaatkan jemaah untuk meningkatkan kesiapan secara menyeluruh.
Mulai dari kesiapan ibadah, kondisi kesehatan, hingga pelaksanaan manasik agar saat tiba waktunya, jemaah benar-benar siap untuk berangkat.
- Penulis :
- Shila Glorya








