Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Hetifah Desak Pemerintah Hapus Status Guru Honorer Tanpa Ciptakan Ketidakpastian

Oleh Leon Weldrick
SHARE   :

Hetifah Desak Pemerintah Hapus Status Guru Honorer Tanpa Ciptakan Ketidakpastian
Foto: Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian (sumber: Humas DPR RI)

Pantau - Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, mendesak pemerintah untuk menghapus status guru honorer secara tuntas pada akhir tahun 2025, namun menekankan bahwa proses tersebut tidak boleh menciptakan ketidakpastian baru bagi para guru.

Ia menegaskan bahwa peringatan Hari Guru Nasional harus menjadi momen untuk melindungi profesi guru dan menjamin kesejahteraan mereka melalui kebijakan konkret, bukan sekadar seremoni.

"Pada Hari Guru Nasional ini, pemerintah harus menunjukkan penghormatan nyata kepada guru, pastikan masa depan mereka terjamin. Reformasi kepegawaian harus menjadi revolusi kesejahteraan guru, bukan beban baru", ungkapnya.

Perlindungan Hak Guru Harus Jadi Prioritas

Hetifah menyatakan bahwa guru yang telah mengabdi belasan tahun harus diprioritaskan dalam proses penataan kepegawaian, baik melalui pengangkatan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) maupun lewat seleksi terbuka yang adil dan bebas diskriminasi.

"Tidak boleh lagi pengabdian belasan tahun menjadi alasan tertunda tanpa kepastian", ia mengungkapkan.

Ia juga menekankan bahwa penghapusan status guru honorer tidak boleh dimaknai sebagai penghapusan hak-hak dasar para guru.

Kebijakan baru, menurut Hetifah, harus menjamin penghasilan yang layak, tunjangan tetap, jaminan sosial, dan perlindungan hukum bagi semua guru.

"Ini bukan bonus, ini hak dasar", tegasnya.

Koordinasi Antarinstansi Jadi Kunci Transisi

Hetifah turut menyoroti perbedaan regulasi antara guru sekolah umum dan guru madrasah yang kerap memicu ketimpangan.

Ia menyebut perlunya koordinasi antara Kementerian Agama, KemenPANRB, Kemendikbudristek, pemerintah daerah, dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) agar tidak ada guru yang terlantar akibat perbedaan kebijakan.

"Jangan sampai reformasi kepegawaian justru menciptakan dua kecepatan, satu guru yang diuntungkan, yang lain tertinggal", katanya.

Berdasarkan amanat Undang-Undang ASN dan aturan turunannya, status guru non-ASN akan berakhir pada akhir 2025.

Semua guru non-ASN berhak masuk ke dalam skema PPPK sesuai dengan persyaratan yang berlaku.

Namun, hingga kini, skema PPPK Paruh Waktu masih menunggu ketentuan teknis resmi dari KemenPANRB dan BKN.

Keterlambatan ini dikhawatirkan bisa menimbulkan ketidakpastian bagi para guru honorer, khususnya di daerah.

Meski begitu, pemerintah daerah tetap dapat mengusulkan kebutuhan tenaga guru melalui formasi instansional ke KemenPANRB jika formasi nasional belum dibuka.

Langkah ini penting agar tidak terjadi kekosongan layanan pendidikan, terutama di daerah terpencil.

Hetifah menegaskan bahwa permasalahan guru honorer bukan sekadar persoalan administratif, melainkan berkaitan langsung dengan prinsip keadilan sosial dan kedaulatan pendidikan nasional.

"Jika kebijakan ini gagal, kita mengirim pesan bahwa pengabdian guru bukanlah investasi bangsa, melainkan beban yang bisa dicabut kapan saja. Kita berbicara tentang ribuan guru yang mempertaruhkan kehidupan mereka demi generasi bangsa. Pemerintah harus menunjukkan bahwa mereka adalah prioritas, bukan pelengkap anggaran", ujarnya.

DPR RI, lanjut Hetifah, akan terus menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan untuk mengawal transisi penghapusan status guru honorer secara adil dan tuntas.

"Kita menegaskan bahwa penghargaan terhadap guru harus diterjemahkan dalam regulasi, anggaran, dan tindakan nyata", ungkapnya.

Penulis :
Leon Weldrick